Senin, 27 Juli 2009

Proklamasi Kemerdekaan Nasional 1945 ternyata tidak secara otomatis membuat bangsa kita memiliki otoritas penuh dalam mengintegrasikan sistem ekonomi dan politik nasional serta budaya bangsa yang mandiri yang lepas dari dominasi modal kolonial. Ekonomi kolonial masih terus menghisap kekayaan alam serta tenaga produktif di dalam negeri. Upaya untuk membangun ekonomi nasional memang terus diperjuangkan, berhadap-hadapan dengan agen-agen lokal imperialisme yang dimotori oleh mafia Berkeley. Boleh disebutkan di sini: Program Benteng, gerakan nasionalisasi tahun 1957, dan Rencana Urgensi Ekonomi yang bertujuan mendirikan Industri Skala Besar.

Perjuangan ini terhenti ketika Orde Baru berkuasa. Pintu buat modal asing dibuka seluas-luasnya. Hampir semua sektor ekonomi diserahkan kepada asing hingga tidak ada yang tersisa. Orde Baru telah mengakhiri perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut dan menegakkan kedaulatan ekonomi nasional. Orde Baru menjalankan perekonomian nasional ini di atas basis penjajahan ekonomi neo-kolonialisme dan meluluhlantakkan hak-hak politik rakyat dengan menyerukan Politik No Ekonomi Yes yang justru semakin membangkrutkan kehidupan rakyat.

Kejatuhan Orde Baru memberikan harapan rakyat untuk melakukan koreksi total sistem ekonomi-politik lama dengan membangun sistem ekonomi politik baru yang berbasiskan pada partisipasi rakyat. Akan tetapi, proses ini disabotase dan dirampok oleh elit-elit politik "reformis gadungan" yang mengarahkan Indonesia kepada situasi ekonomi yang sangat liberal dan tunduk kepada neo-kolonialisme.

Gerakan Banting Setir

Ekonomi liberal terbukti gagal total. Krisis makin parah baik krisis pangan, krisis energi, bahkan krisis identitas sebagai bangsa yang pernah jaya mengusir penjajah asing. Di mana-mana rakyat putus asa karena kehilangan harapan hidupnya dan ditinggalkan oleh para Pimpinannya. Apa yang diharapkan rakyat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Pimpinannya. Rakyat menginginkan kesejahteraan tetapi liberalisasi jawabannya; rakyat butuh sandang pangan yang murah tetapi harga-harga melambung tinggi; rakyat butuh pekerjaan tetapi lapangan kerja seolah tertutup rapat oleh pintu besi; rakyat membutuhkan harapan dan kepastian masa depan hidupnya, keluarga dan anak-anaknya, yang terjadi, rakyat putus asa karena kelakuan para pimpinannya.

Tidak ada jalan lain: rakyat Indonesia harus memperjuangkan sistem ekonomi dan politik yang baru dengan semangat seperti para pejuang kemerdekaan tempo dulu, yaitu: sistem yang melindungi kepentingan nasional, melindungi hajat hidup segenap rakyat Indonesia dan bebas dari dominasi asing dan kaki tangannya.

Caranya: pertama secepatnya, rakyat harus berani menghapus hutang luar negeri seperti yang dilakukan Pemerintah Argentina yang berani tidak membayar hutang sebesar 100 milyar dolar Amerika (Kompas, 6 November 2007); kedua Industri Pertambangan yang sejak jaman Kolonialisme Belanda lebih banyak dieksploitasi untuk kepentingan modal asing harus dinasionalisasi untuk kepentingan rakyat. Artinya kita harus mencabut serta mengganti semua UU tentang Penanaman Modal dan kembali kepada semangat UU Penanaman Modal tahun 1958 yang berisi: Usaha pertambangan, sarana umum rakyat dan usaha-usaha ekonomi yang sudah dikelola oleh modal dalam negeri tidak boleh diintervensi oleh modal asing; ketiga membangun industri nasional yang kuat serta mandiri untuk menampung kekuatan produksi (modal dalam negeri, transformasi tekhnologi alat-alat produksi dan tenaga kerja yang melimpah).

Hal di atas merupakan landasan pokok bagi bangsa kuli untuk bangkit menjadi bangsa mandiri; menjadi bangsa yang besar dan mandiri di tengah-tengah hebatnya pertarungan ekonomi global. Dengan demikian semangat Tri Saktinya Bung Karno yaitu: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya bisa terwujud di negeri ini.

Syarat-Syarat Obyektif

Secara prinsipil, sistem yang dibangun oleh Orde Baru dibandingkan dengan sistem di era reformasi memiliki kesamaan yaitu sama-sama mengabdi kepada kepentingan modal asing. Orde Baru menggunakan sistem tertutup dengan kontrol penuh militer yang didukung aparatus politik serta ideologinya untuk mengamankan modal dan meredam habis-habisan hak politik rakyat sedangkan pada era reformasi, seolah-olah demokrasi dilakukan secara terbuka. Padahal kenyataannya, partai-partai besar di Parlemen sebagai regulator utama pembuat Undang-Undang memberikan landasan bagi terbangunnya sistem ekonomi dan politik yang oligarkhis.

Puncak dari semangat liberalisasi ini adalah dengan disahkannya UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada tanggal 19 Maret 2007. Bahkan, Presiden SBY juga mensahkan Peraturan Pemerintah tentang sewa tanah di hutan lindung hanya dengan harga Rp 300 per meter persegi bagi para investor. Sedemikian liberalnya, 70% industri dalam negeri dikontrol oleh pihak asing. Padahal sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki syarat untuk membangun industri nasionalnya. Indonesia, negeri kita, memiliki bahan tambang yang sangat besar, baik minyak, batubara, biji besi dan lain sebagainya. Pembukaan serta pasal 33 UUD 1945, dengan tegas mengamanatkan bahwa sumber daya alam, dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Tidak ada pilihan lain, rakyat Indonesia harus membangun alat politik sendiri. Harus ada kepemimpinan politik baru yang berkarakter anti-imperialisme. Kepemimpinan politik yang baru akan menegaskan kembali kedaulatan ekonomi kita dengan jalan membangun haluan ekonomi baru.

Dengan begitu Ekonomi Nasional yang kuat dan mandiri adalah syarat mutlak untuk membangun bangsa serta membebaskan rakyat miskin Indonesia dari belenggu penindasan serta penghisapan. Indonesia mestinya banyak belajar kepada negara-negara seperti India, Cina, Venezuela yang sanggup membangun ekonomi nasionalnya yang lepas dari dominasi modal asing. Sebelum semua jadi terlambat dan bangsa kita menuju kehancuran.


0 komentar:

Posting Komentar