Selasa, 14 Juli 2009

Upah Minimum Nasional dan Jalan Baru Kaum Buruh Indonesia



Ditulis Oleh Katarina Pudjiastuti dan Dominggus Oktavianus

Dua tahun sudah Kepmenaker no 17/2005 tentang penentuan upah berdasarkan Kebutuhan hidup layak (KHL) diberlakukan. Namun perjuangan kaum buruh atas upah layak kembali mewarnai penghujung tahun ini. Aksi atau demonstrasi buruh kembali marak di sejumlah kota.
posisi.jpg Terakhir aksi puluhan ribu buruh di Semarang, Jawa Tengah, terpaksa harus bersitegang dengan aparat keamanan demi memperjuangkan nominal Rp. 1 juta sebagai Upah Minimum di Provinsi (UMP) tersebut.

Menurut pemerintah serta dunia usaha, dari tahun ke tahun upah telah mengalami kenaikan signifikan. Sebagai contoh, rata-rata UMP tahun 2007 sudah mencakup hingga 80% KHL versi Dewan pengupahan. Anggapan tersebut ditentang oleh kalangan serikat buruh karena, pada prakteknya, secara nominal rata-rata kenaikan upah kurang dari 10 %. Di tahun 2007 rata-rata kenaikan UMP hanya sebesar 9,3% sehingga tidak sanggup mengejar kenaikan harga barang dan jasa yang melonjak karena inflasi selama semester I tahun 2007 sebesar 6,8 %.

Kenaikan inflasi sebesar 1% saja di bulan Januari 2007 berakibat meningkatnya harga bahan pangan sampai 15%. Kenaikan harga beras sebesar 12-13% di pulau jawa pada tahun 2007 dipicu kenaikan inflasi sebesar 0,6 sampai 0,9%.

Jadi tidaklah tepat jika pemerintah SBY-Kalla menyetujui kenaikan upah sebesar 9%, pada saat yang bersamaan juga memperkirakan inflasi tahun 2008 mencapai 6 sampai 6,5 %.

Jika sejarah kita tinjau kembali, sejak pemerintahan Suharto upah murah telah dibuat ‘bersaing’ agar dapat menjadi keunggulan komparatif dalam menarik investasi. Upah buruh di Indonesia yang hanya mencapai 8-10% biaya produksi secara prosentase adalah yang paling kecil di Asia. Sekarang, kebijakan upah murah ala Orde Baru tersebut dikukuhkan kembali oleh pemerintahan SBY-JK dalam kebijakan Fleksibiltas Pasar tenaga kerja.

Upah merupakan rangkaian dari beragam permasalahan perburuhan, terutama kebijakan fleksibilitas pasar tenaga kerja dan kehancuran sektor industri dalam negeri. Upah selain harus mampu meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi kemiskinan juga harus menjawab beberapa masalah lain, yaitu: kesenjangan pendapatan, kesenjangan kesempatan kerja, dan kesenjangan perputaran modal.

Upah Minimum Nasional dari kota industri utama.
Penentuan besaran upah harus diletakan untuk mengatasi kemiskinan mendorong kesempatan kerja, pemerataan pendapat antara kota dan daerah. Oleh karena FNPBI mengangkat Upah Minimum Nasional (UMN) yang dihitung berdasarkan standar hidup layak empat industri utama yang mewakili pulau terbesar di Indonesia. Hasil perhitungan ini yang dijadikan besaran upah secara serentak yang diberlakukan di 32 propinsi.

Empat provinsi yang dipilih mewakili pulau-pulau besar adalah: DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi selatan dan Sumatera Utara. Dengan landasan kepadatan penduduk, tingkat partisipasi, paparan industri di kota utama di empat pulau terbesar Indonesia. Hasil riset FNPBI secara garis besar menghasilkan perhitungan sebagai berikut 1. Kebutuhan Hidup Layak di Sumatera Utara: 1.018.157,6 2. Kebutuhan Hidup Layak di DKI Jakarta Rp 1,646,570.45 3. Kebutuhan Hidup Layak di Kalimantan Barat: 985.505 4. Kebutuhan Hidup Layak di Sulawesi Selatan: Rp 933.896,9 Dengan memperhitungkan data di atas, maka Perhitungan Upah Minimum Nasional adalah sebagai berikut:
∑ hasil survey KHL Sumut+DKI Jakarta + Kalbar + Sulsel _______________________________________________ + (rata-rata x prediksi inflasi nasional 6,8%) = 4

= Rp 1.224.000,-

Operasional Untuk mendukung Upah Minimum Nasional Rata-rata kenaikan berdasarkan perhitungan di atas adalah 80-100% UMP. Dengan prosentasi kenaikan sebesar itu, alokasi dari biaya produksi untuk kebutuhan upah buruh (labor cost) menjadi sekitar 20% dari angka sebelumnya sebesar 8-10%. Artinya diperlukan dukungan sekitar 10-12% untuk tambahan biaya produksi (production cost). Dari mana kah sumbernya?

Untuk merealisisasikan kenaikan upah pemerintah harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
• Efisiensi birokrasi yaitu pemberantasan biaya siluman (yang umumnya menyumbang hingga 30% dari biaya produksi). Prosentasi ini tergolong yang sangat tinggi dibandingkan negara-negera lain. Misalnya, untuk kasus Malaysia, biaya pungutan siluman tersebut kurang dari 5%, atau enam kali lebih rendah. Penghapusan biaya siluman ini menuntut sebuah gerakan masif, baik buruh maupun pengusaha, serta melibatkan seluruh unsur terkait, karena sekaligus juga merupakan sebuah gerakan anti korupsi dan kolusi.
• Penghapusan hutang luar negeri dan peninjauan ulang seluruh kontrak kerja sama (KKS) dengan korporasi-korporasi pertambangan asing. Kedua program ini sama-sama ditujukan untuk menekan kembali harga BBM domestik- termasuk BBM industri- sehingga alokasi biaya produksi untuk pengadaan BBM dan bahan baku turunan minyak (petrokimia) bisa ditekan dan dapat dialokasikan untuk kenaikan upah serta meningkatkan daya saing (insentif) bagi industri dalam negeri.
• Memperkuat industri dalam negeri dengan perlindungan khusus dan keringanan pajak (insentif) bagi investasi pada jenis industri yang berorientasi pada kemandirian ekonomi nasional. Kebijakan ini juga sekaligus akan menjadi salah satu rangsangan bagi kembalinya kapital yang selama ini “parkir” di luar negeri, untuk diinvestasikan di Indonesia. Sehingga ketergantungan terhadap investasi asing (foreign investment) dapat dikurangi secara berangsur-angsur.

Maka, ditengah momentum kenaikan upah, kini sudah waktunya kaum buruh mengkonsolidasikan kekuatan untuk berjuang memenangkan Upah Minimum Nasional, yang dihitung berdasarkan standar kehidupan layak, sebagai solusi peningkatan kesejahteraan kaum buruh, penghapusan kemiskinan melalui pemerataan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan daerah.

Jalan Baru Gerakan Buruh Menghadapi Pemilu 2009 Dari rencana dan program yang tertulis di atas, diketahui bahwa untuk peningkatan upah secara nasional dibutuhkan serangkaian perubahan pada kebijakan ekonomi nasional. Antara lain, yang telah disebutkan, penghapusan utang luar negeri, peninjauan ulang KKS dengan korporasi pertambangan, pemberantasan biaya siluman (korupsi/kolusi), dan perlindungan/penguatan terhadap industri nasional.

Apa maknanya bagi kita, kaum buruh?
Maknanya adalah, perjuangan untuk menghasilkan perubahan kondisi kesejahteraan kaum buruh harus mampu mengkonsolidasikan dua sifat program tuntutan dalam satu periode perjuangan; yakni, Program perjuangan yang bersifat darurat dan yang bersifat mendesak.

Program perjuangan yang bersifat darurat adalah perjuangan mengatasi masalah yang muncul setiap hari, mempertahankan hak atas kehidupan yang memadai, hak atas jaminan bekerja, hak kebebasan berorganisasi/berserikat, serta mengatasi masalah-masalah lainnya yang tidak dapat ditunda lebih lama lagi. Sedangkan program perjuangan yang bersifat mendesak adalah perjuangan strategis untuk merubah seluruh sistem/tatanan ekonomi yang merugikan kaum buruh.

Perubahan kebijakan ekonomi nasional yang disebutkan di atas sebelumnya adalah program perjuangan yang bersifat mendesak, yang harus segera dilakukan oleh kaum buruh dan rakyat Indonesia agar tidak semakin terperosok ke dalam kemiskinan dan kehancuran.

Peningkatan kesejahteraan lewat kenaikan upah yang sedang kita perjuangkan, melingkupi dua hal tersebut sekaligus, yaitu bersifat darurat dan mendesak. Darurat dalam makna berjuang mencapai kemenangan dalam bentuk angka/nilai upah yang lebih tinggi atau semakin mendekati tuntutan kita. Mendesak, dalam makna merubah filosofi penetapan upah, sehingga tidak lagi berdasarkan politik upah murah, melainkan berdasarkan kelayakan sebagai manusia modern dengan segala kebutuhan sesuai tuntutan zaman.

Bagaimana menjelaskan program perjuangan mendesak ini?
Secara ringkas, pertama-tama kita harus kembali kepada sejarah bangsa ini. Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 adalah untuk mewujudkan negeri yang bermartabat, tanpa penindasan manusia terhadap manusia yang lain. Atau, dalam istilah lain, kemerdekaan tersebut merupakan “pintu gerbang” menuju masyarakat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, berusaha menyatukan pemikiran para pemimpin di zaman itu dengan mengeluarkan gagasan Tri Sakti, yaitu: Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya. Dengan berjalan di atas gagasan tersebut, maka Indonesia akan menjadi negeri yang makmur dan bermartabat. Selama 20 tahun, yakni 1945 sampai dengan 1965, di bawah pimpinan Soekarno beserta kekuatan progresif-revolusioner, rakyat Indonesia berjuang mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut. Upaya penjajahan kembali oleh negeri-negeri Barat yang disebut dengan neokolonialisme, mentah-mentah ditolak. Kekayaan alam Indonesia dilindungi dari eksploitasi perusahaan-perusahaan pertambangan asing, baik pertambangan emas, minyak dan gas, baja, tembaga, nikel, dan sebagainya. Buruh Indonesia dilindungi dengan peraturan perundang-undangan yang dijalankan secara konsisten.

Namun setelah itu, selama 32 tahun, yakni 1966 – 1998, kediktaturan militer di bawah Soeharto telah membelokkan jalan, membalikkan arah pembangunan nasional dengan dengan mengekang demokrasi, dan membuka tanah, kekayaan, dan bangsa Indonesia untuk dieksploitasi/ditindas oleh kepentingan modal asing. Buruh Indonesia menjadi korban, dengan politik upah murah dijalankan secara represif (dengan paksaan kekuatan militer) untuk menarik investor asing sebanyak-banyaknya. Sejak masa kemerdekaan sampai sekarang, 20 tahun kita berjuang untuk menjadi Bangsa mandiri, dengan ekonomi yang berdiri di atas kekuatan sendiri, dan kaum buruh yang berdaulat dan sejahtera.

Tiga puluh dua tahun sampai 1998, ditambah 9 tahun sampai hari ini (atau selama 41 tahun), kita berada di jalan yang salah, jalan bagi kepentingan kapitalis asing beserta segelintir konco-konconya di dalam negeri. Merekalah yang menikmati seluruh kekayaan negeri, di bawah penderitaan mayoritas buruh dan rakyat Indonesia. Perubahan politik selama 9 tahun tidak diikuti dengan perubahan ekonomi yang masih menghamba pada kepentingan modal asing.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita nyatakan dan membuktikan dalam praktik, meninggalkan jalan lama dan masuk ke jalan baru. Gerakan Banting Setir: Haluan Ekonomi Baru, Partai baru, dan Presiden Baru 2009 Hasil demokrasi di tahun 1998 telah dilanjutkan dengan pemilihan umum 1999 dan pemilihan umum 2004, sebagai langkah untuk menyusun kekuasaan pemerintahan yang baru, menggantikan kekuasaan pemerintahan otoriter Soeharto dan pelanjutnya, B.J. Habibie.

Pemilihan umum (pemilu) seolah telah menjadi harga mati, sebagai mekanisme atau tata cara, untuk melakukan perubahan yang dikatakan demokratis. Dengan demikian, dalam tiap momentum pemilu tersebut rakyat (termasuk mayoritas kaum buruh) menaruh harapan dengan memilih partai atau pemimpin yang dianggap mampu menciptakan perubahan yang dibutuhkan. Namun perubahan yang diharapkan itu tidak kunjung sampai. Apa pasalnya? Bagaimana jalan keluarnya?

Saat ini kita kembali menghadapi momentum pemilu selanjutnya, yaitu di tahun 2009. Kekuatan-kekuatan politik lama kembali sibuk menyiapkan diri, memoles kemasan atau tampilannya, agar kembali dipilih oleh rakyat. Mereka mengemas dirinya, seolah-olah pro pada kepentingan buruh, pro kepada kepentingan rakyat, dan pro kepada kepentingan nasional. Tapi tindak-tanduk mereka di balik kemasan itu tidak berubah, tetap menggambarkan kegagalan demi kegagalan yang sudah mereka lakukan.

Pilihan bagi kaum buruh menjelang pemilu 2009 nanti tidak dapat sama lagi dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Seperti apa langkah praktis kita mulai sekarang?

Pertama, kita sudah harus memulai sebuah gerakan untuk memutar haluan ekonomi, dari yang mengarah pada kepentingan modal asing, menuju ekonomi yang mengarah pada kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. Kongkritnya, mendukung sepenuh tenaga program politik yang berani mengambil-alih kekayaan alam ke tangan negara dengan menasionalisasi industri pertambangan, menghapus utang luar negeri, dan membangun industri nasional yang kuat untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, kaum buruh membutuhkan sebuah alat atau partai politik baru, yang pro pada kemandirian ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Partai politik yang akan maju ke dalam kancah pemilihan umum dan menjadi alat perjuangan massa tersebut adalah sebuah partai front (persatuan) dari unsur yang nasionalis dan kerakyatan. Dukungan dari kaum buruh terhadap partai politik tersebut, tidak samata-mata ditunjukkan dengan dukungan suara/pencoblosan, melainkan sebuah dukungan aktif dalam mengkampanyekan program perjuangan dan seluruh kebutuhan partai dimaksud.

Ketiga, kaum buruh juga membutuhkan figur presiden baru, yang berani mengambil langkah-langkah atau keputusan penting untuk membawa bangsa ini keluar dari jalan lama yang pro kepentingan modal asing, ke jalan baru yang pro kepentingan rakyat. Dengan panduan yang kita pelajari ini, dan melalui seluruh pengalaman perjuangan kita, kita akan berjuang untuk kepentingan buruh dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Perjuangan untuk upah layak, adalah juga perjuangan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Demikian juga sebaliknya, perjuangan untuk kepentingan rakyat Indonesia adalah juga kepentingan untuk peningkatan upah bagi kaum buruh.

Mari Bersatu Dalam Gerakan Banting Setir;
Jalan Baru, Partai Baru, Presiden Baru!
Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri!


0 komentar:

Posting Komentar