Senin, 27 Juli 2009

Menelusuri Peristiwa 27 Juli


Sungguh penting bagi kehidupan bangsa kita bahwa berbagai kalangan telah mengadakan beragam kegiatan untuk memperingati peristiwa 27 Juli, yang terjadi 8 tahunyang lalu. Tetapi, ada orang-orang yang berpendapat bahwa mempersoalkan peristiwa 27 Juli hanyalah untuk menjelek-jelekkan SBY dan “membela” Megawati, dalam rangka pemilihan presiden putaran ke-2. Walaupun sebagian effeknya mungkin bisa saja begitu, tetapi memperingati peristiwa 27 Juli mengandung arti yang lebih luas dan lebih dalam.

Sekarang, dalam memperingati peristiwa 27 Juli terpaksa disoroti lagi sikap Megawati (dan PDI-P pada umumnya) yang oleh pendapat banyak orang dinilai “kurang indah” alias buruk. Selama bertahun-tahun, banyak orang tidak mengerti mengapa Megawati (PDI-P) seakan-akan tidak peduli atau membuta-tuli terhadap peristiwa 27 Juli yang merupakan pelanggaran HAM berat dan kejahatan besar di bidang politik yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Orde Baru, baik dari kalangan militer maupun sipil. Banyak orang merasa kecewa (bahkan marah!) terhadap Megawati (PDI-P) yang seperti acuh-tak acuh terhadap banyaknya korban yang jatuh di kalangan pemuda (terutama dariPRD) dan kalangan lainnya, termasuk di kalangan simpatisan atau pendukung Megawati sendiri.

Kejengkelan banyak orang betambah besar ketika Megawati kemudian kelihatan “bergandeng tangan’ dengan tokoh-tokoh militer dan Golkar, sedangkan umum mengetahui bahwa sejak lama -- dan jelas-jelas pula ! -- banyak petinggi militer dan Golkar telah memusuhi Megawati beserta PDI-nya. Serentetan peristiwa sebelum, selama dan sesudah kongres PDI di Medan dan peristiwa 27 Juli 1996 menunjukkan dengan jelas bagaimana pimpinan rezim militer Orde Baru telah dengan kasar, ceroboh, gegabah, kotor dan terang-terangan berusaha menghancurkan nama Megawati dan PDI-nya.

Oleh karena itu, banyak golongan yang sudah puluhan tahun ditindas oleh rezim militer Orde Baru menaruh simpati besar terhadap Megawati, dan menjadikan kantor PDI di jalan Diponegoro sebagai mimbar bersama untuk menyuarakan perlawanan terhadap berbagai politik Suharto dkk. Banyak orang, pada waktu itu, melihat pada sosok Megawati sebagai salah satu simbul perlawanan terhadap rezim militer Suharto dkk.


KEJAHATAN PIMPINAN ABRI

Peringatan peristiwa 27 Juli juga merupakan kesempatan bagi banyak golongan untuk membongkar kembali dan mengenang berbagai kejahatan pimpinan ABRI, yang jauh-jauh sebelum terjadinya peristiwa berdarah itu sudah merencanakan, mengatur, dan melancarkan operasi penyerbuan terhadap massa yang berkumpul di gedung PDI di jalan Diponegoro. Dalam hal ini, peran dan tanggungjawab Jenderal Feisal Tanjung, Letjen Syarwan Hamid, Letjen Sutiyoso, dan Letjen Susilo Bambang Yudoyono, telah digugat atau dipertanyakan oleh berbagai kalangan, termasuk banyak ornop, dan terutama oleh kalangan generasi muda dan mahasiswa.

Sebab, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa di belakang “operasi” yang dilakukan oleh para pendukung Suryadi (musuh Megawati di PDI waktu itu) telah “bermain” secara aktif Letnan Jenderal Sutiyoso yang waktu itu menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya (pada saat itu Susilo Bambang Yudoyono menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya). Karena itulah banyak suara yang menuntut supaya mantan petinggi militer, yang sekarang menjabat sebagai gubernur Jakarta Raya itu, dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus peristiwa 27 Juli ini. Juga dalam rangka peristiwa berdarah inilah keterlibatan Susilo Bambang Yudoyono telah disebut-sebut.


KORBAN CUKUP BANYAK

Pengangkatan kembali peristiwa 27 Juli ini amat penting bagi usaha bersama untuk mencari kebenaran dan keadilan, dan untuk menegakkan hukum di negeri kita. Sebab, sampai saat ini masih terdapat ­ korban yang belum ditemukan dari jumlah keseluruhan korban yang terakreditasi, yaitu sekitar 124 orang (Tempo 20 Juli 2004). Menurut Komnas HAM, dalam peristiwa ini telah tewas 5 orang , 149 orang luka-luka dan 74 orang hilang (Tempo bahasa Inggris, 27 Juli 2004). Jumlah korban ini cukup banyak! Orang sudah begitu banyak telah menjadi korban, tetapi rezim militer Orde Baru berusaha sekuat-kuatnya untuk menutup-nutupinya dengan segala cara, supaya para petinggi militer yang bertanggungjawab atas terjadinya penyerbuan berdarah ini tidak dikenakan sanksi hukum.

Setelah Suharto jatuh pun pemerintahan-pemerintahan yang silih berganti tidak menunjukkan kemauan (atau keberanian ?) untuk bertindak dan menyelesaikan peristiwa yang telah mencoreng muka para petinggi militer ini. Muka buruk ABRI, memang telah dikotori oleh peristiwa pembantaian jutaan orang tidak bersalah dan penahanan ratusan ribu tapol dalam tahun 65, dan ditambah dengan peristiwa pembunuhan dan penculikan di Lampung, Tanjung Priuk, Trisakti, Semanggi, kerusuhan bulan Mei, Timor Timur, dan tempat-tempat lainnya, sepanjang lebih dari 32 tahun.


27 JULI : KESALAHAN BESAR ABRI

Membongkar kesalahan-kesalahan ABRI di masa yang lalu, atau menggugat kejahatan para petinggi militer di masa kini, atau mengutuk pelanggaran-pelanggaran perikemanusiaan yang dilakukan oleh para tokoh Orde Baru adalah untuk kebaikan kita bersama, untuk keselamatan Republik Indonesia. Sekarang sudah menjadi persepsi umum, atau sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas, bahwa selama Suharto berkuasa, banyak oknum-oknum militer telah melakukan banyak sekali dan beraneka ragam pelanggaran dan kejahatan. Tetapi, anehnya, hanya sedikit sekali, diantara para petinggi militer itu, yang bisa diadili. Termasuk mereka yang tersangkut dalam peristiwa 27 Juli.

Peristiwa 27 Juli, yang menyebabkan korban begitu banyak, merupakan ‘blunder” (bhs Belanda, artinya : kesalahan besar) ABRI waktu itu. Tentunya, logisnya, ada petinggi militer yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa berdarah yang menyolok ini. Dan inilah yang setiap tahun, sudah selama 8 tahun, digugat atau dituntut oleh banyak kalangan, termasuk berbagai ornop atau LSM dan keluarga para korban.

Dan adalah usaha mulia yang patut mendapat penghargaan dan penghormatan dari kita semuanya, bahwa ada berbagai kalangan di masyarakat luas yang mau mengangkat peristiwa 27 Juli untuk dipersoalkan kembali. Sebab, sudah sulit diharapkan bahwa dari Megawati (PDI-P) akan ada langkah-langkah untuk menyelesaikan peristiwa ini secara adil dan menurut hukum. Kalau dari Megawati (PDI-P) sendiri tidak terbetik kemauan untuk membongkar latar belakang peristiwa 27 Juli dan menuntut diadilinya para pelaku-pelakunya yang bersalah, maka tugas ini jatuh di pundak para aktivis di banyak ornop atau LSM. Dan karena DPR atau lembaga-lembaga lainnya juga tidak berkutik atau bungkam saja tentang masalah ini, maka harapan akhirnya terpaksa digantungkan kepada berbagai gerakan ekstra-parlementer.


MEGA DAN SBY TIDAK BISA DIHARAPKAN

Patut sama-sama kita perhatikan bahwa dari kedua calon presiden, baik dari Susilo Bambang Yudoyono maupun Megawati, kecil sekali kemungkinan akan adanya tindakan tegas untuk menyelesaikan peristiwa 27 Juli secara tuntas dan transparan. Dari fihak Megawati (PDI-P) pengalaman selama 8 tahun sudah membuktikan sikapnyayang mengecewakan banyak orang itu.
Sedangkan dari fihak SBY tidak bisa diharapkan bahwa ia akan bisa (dan berani !) mengadakan tindakan-tindakan yang benar-benar radikal untuk “membersihkan” TNI dari segala praktek-praktek negatif yang pernah dijalankan selama Orde Baru, termasuk yang berkaitan dengan kasus 27 Juli. Borok-borok parah yang sudah disadap berpuluh-puluh tahun, dan membikin busuknya mental sebagian besar petinggi militer ini tidak akan bisa mudah dihilangkan oleh seorang yang bernama Susilo Bambang Yudoyono.

Jadi, siapapun akan menjadi presiden nanti, berbagai ornop atau LSM atau gerakan-gerakan rakyat akan tetap mempunyai peran penting untuk terus mempersoalkan peristiwa 27 Juli dan terus menuntut supaya petinggi-petinggi militer yang tersangkut diadili. Berbagai aksi dan kegiatan bisa terus dilancarkan oleh sebanyak mungkin organisasi, umpamanya, antara lain : TPDI, Imparsial, IKOHI, PRD, LBH dll. (Mohon ma’af, kepada organisasi-organisasi lainnya yang namanya tidak disebut di sini). Adalah menggembirakan bahwa berbagai kegiatan untuk memperingati tragedi ini telah diadakan di 47 kota besar dan kecil (Tempo 27 Juli 2004).


BUTUH PEMIMPIN YANG KUAT ?

Memperingati dan mempersoalkan 27 Juli berarti menjadikan peristiwa ini sebagai pendidikan politik bagi rakyat banyak, terutama generasi mudanya. Dengan mengangkat kembali peristiwa ini, orang banyak dapat menyoroti sekaligus sikap Megawati (PDI-P) yang mengkhianati atau mengecewakan banyak simpatisan atau pendukungnya sendiri, dan juga membongkar kembali kejahatan para petinggi militer yang seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya pelanggaran peri-kemanusiaan ini. Peristiwa 27 Juli adalah hanya sebagian kecil sekali dari segunung besar kejahatan yang sudah pernah dilakukan oleh Suharto bersama ABRI-nya selama lebih dari 32 tahun.

Buntut atau kelanjutan peristiwa 27 Juli menunjukkan kepada banyak orang bahwa untuk pencarian kebenaran dan keadilan, atau penegakan hukum yang sungguh-sungguh, kita tidak bisa hanya menggantungkan harapan kepada Megawati atau pun SBY. Sikap yang demikian ini juga perlu kita ambil ketika menghadapi kasus pembantaian besar-besaran tahun 65 terhadap orang-orang yang tidak bersalah apa-apa, kasus penyerobotan kekuasaan oleh Suharto terhadap Bung Karno, kasus pemenjaraan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu tapol selama bertahun-tahun, dan kasus penyiksaan batin yang berkepanjangan terhadap jutaan keluarga korban Orde Baru.

Catatan A. Umar Said



0 komentar:

Posting Komentar