Minggu, 06 Mei 2012

Janji SBY Untuk Kaum Buruh

Naluri mempertahankan kekuasaan, kata filsuf politik Hannah Arendt, telah menyebabkan politik selalu mendekat kepada kebohongan. Politisi sangat gandrung mengumbar janji-janji. Sekalipun, dalam banyak kasus, janji-janji sangat sulit—atau sengaja—untuk tidak direalisasikan.

Sehari menjelang peringatan Hari Buruh Sedunia, Presiden SBY menebar janji-janji manis kepada kaum buruh. SBY menyebut janjinya itu sebagai “kado bagi kaum buruh Indonesia”. Ada empat hal yang dijanjikan oleh Presiden SBY:

Pertama, penetapan pendapatan tidak kena pajak dari semula Rp 1,3 juta menjadi Rp 2 juta. Dengan kebijakan itu, buruh yang mendapatkan gaji di bawah Rp 2 juta per bulan tidak perlu lagi membayar pajak.

Kedua, pembangunan rumah sakit khusus untuk para buruh. Konon, rumah sakit itu akan dibangun di Tangerang, Bekasi, dan sidoarjo.

Ketiga, pemerintah akan menyediakan transportasi murah untuk buruh di kawasan industri. Untuk tahap awal, katanya, akan dibeli 200 unit bus untuk wilayah Tangerang, Bekasi, Jawa Timur, dan Batam.

Keempat, pemerintah akan mengadakan rumah murah untuk buruh. Kado yang keempat ini masih gelap perencanaannya. Pasalnya, jangankan untuk perumahan murah bagi buruh, urusan mengatasi “backlog” perumahan rakyat saja pemerintah terlihat sangat kedodoran.

Kebijakan ini bernuansa sogokan. Namanya saja kado, seringkali hanya diberikan sekali waktu dan menikmatinya sesaat. Terlihat sekali bahwa kebijakan ini sangat parsial dan tidak menyentuh akar persoalan. Selain itu, dampaknya juga belum tentu bisa dirasakan oleh seluruh buruh Indonesia.

Selain itu, penggunaan kata “kado” sangat menyesatkan. Seolah-olah semua program itu adalah karena kebaikan SBY. Padahal, soal kesejahteraan buruh memang tanggung jawab pemerintah, terutama Presiden SBY. Dan, karena sifatnya tanggung-jawab, apa yang dijanjikan SBY belumlah “membayar tunai” apa yang menjadi kewajibannya bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia.

Pertama, janji SBY ini tidak menjawab gugatan mendasar kaum buruh: politik upah murah, sistim kerja kontrak dan outsourcing, pelarangan berserikat, dan pelaksanaan jaminan sosial bagi kaum buruh.

Tengoklah! Ketika kaum buruh berbaris di jalanan, teriakan mereka tidaklah menjauh dari isu-isu di atas. Politik upah murah, misalnya, telah menyebabkan kehidupan kaum buruh dan keluarganya sangat merosot. Upah buruh di Indonesia disebut-sebut terendah di Asia Tenggara. Belum lagi, kebijakan sistim kerja kontrak dan outsourcing telah menciptakan tidak adanya kepastian kerja.

Ironisnya, sebagian besar persoalan itu bermuasal dari kebijakan negara yang memang sangat berorientasi kepada nafsu kapitalis untuk menggali keuntungan semata. Ini dilegalisasi sedemikian rupa dengan lusinan perundang-undangan, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri.

Kedua, Presiden SBY seharusnya mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk menyelamatkan industri nasional. Sebab, kehancuran industri nasional juga merupakan momok tak kalah menakutkan bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia.

Apa langkah SBY untuk melindungi industri nasional? Tidak ada. Berbagai kebijakan ekonomi rezim SBY justru mengakselerasi penghancuran industri nasional. Sebut saja: persetujuan terhadap agenda perdagangan bebas, penghapusan subsidi energi, kebijakan energi yang berorientasi asing, privatisasi BUMN, dan lain-lain.

Ketiga, pemerintah mestinya menjalankan amanat UUD 1945, yaitu menjamin pemenuhan hak dasar seluruh rakyat, termasuk buruh. Soal Rumah Sakit murah, misalnya, tidaklah tepat. Seharusnya, jika pemerintah patuh pada UUD 1945, maka layanan kesehatan mestinya bisa diakses oleh seluruh rakyat. Jadi, tidak parsial seperti janji SBY di atas.

Dalam hal transportasi murah, misalnya, kenapa pemerintahan SBY tidak sekalian menciptakan sistim transportasi umum yang bersifat massal, murah, dan manusiawi bagi seluruh rakyat.

Akhirnya, ada kesan bahwa 4 janji SBY diatas hanya “sekedar janji”. Ini tidak lebih dari politik pencitraan semata. Ini tidak lebih dari skenario pemerintahan SBY untuk mempertahankan kekuasannya yang kian tergerus oleh meluasnya ketidakpuasan dan ketidakpercayaan rakyat. Ini tidak lebih dari sebuah kebohongan baru!

Lihat juga di (http://www.berdikarionline.com/editorial/20120505/sekedar-janji-untuk-kaum-buruh.html)


Senin, 27 Februari 2012

Perjuangan Politik anggota SRMI dalam merebut kekuasaan ditingkatan RT RW di Makassar


Selama berpuluh-puluh tahun, kehidupan politik merupakan sesuatu yang susah diakses bagi seluruh rakyat, dan tentu saja rakyat miskin. Jika pada masa orde baru hambatan berpolitik datang dari struktur politik yang otoritarian, maka pada masa reformasi ini hambatannya berasal dari kerangka politik yang market oriented. Karena itu pula, maka selama puluhan tahun rakyat miskin ditaruh di luar kekuasaan, bahkan dikucilkan dari arena politik.

Sudah lama kalangan progressif dari buruh, petani, miskin kota, dan sektor feminis tidak terdengar dalam kancah politik nasional. Tetapi kali ini, menjelang pemilu yang ditawarkan struktur Pemerinthana pada tingkatan ORW( Organisasi Rukun Warga) dan ORT,(Organisasi Rukun Tetangga), sejumlah aktifis progressif dari buruh, tani, dan miskin kota akan ambil bagian dalam ajang demokrasi borjuis ini.

Untuk pertama-kalinya, 16 perempuan secara bersamaan maju dalam pemilihan ketua RW dan RT di beberapa kelurahan di Makassar.

Ke-16 perempuan itu adalah anggota Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD). 4 orang maju sebagai kandidat Ketua RW, sedangkan 12 orang memperebutkan Ketua RT.

Dalam pemilihan ini, semua kandidat yang juga keseluruhannya adalah ibu-ibu rumah tangga ini menjanjikan empat hal kepada pemilihnya. Pertama, menggratiskan semua pengurusan administrasi. Yang kedua, kebersihan lingkungan RW akan terpastikan. Ketiga, advokasi pendidikan dan kesehatan untuk rakyat. Dan yang keempat, siap melayani rakyat selama 24 jam.

Adapun nama-nama calon kandidat pemilihan RT RW tersebut adalah sebagai berikut :

1. Dg Baji

2. Saida Aras

3. Andi Asni

4. Dg Cimmang

5. Rabasyiah

6. Dg Kebo

7. A Risma

8. Mardiana

9. Sannang

10. Santi

11. Ibu Nur

12. Ros

13. Megawati

14. Harniah

15. Dg Kanang,

16. Ratna.

Bagi para kompetitor RTRW SRMI, jabatan RT dan RW bisa menjadi sarana memperluas organisasi dan melatih kader-kader untuk mengelola kekuasaan. “Ini adalah praktik kekuasaan dalam bentuk konkret,” ujar mereka dalam sebuah rapat konsolidasi di RWRT nya masing-masing.