Oleh : R o s m a h
Penulis adalah Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Kota Makassar
Pembangunan demokrasi yang sejati dan sepenuh-penuhnya
Haruslah di abdikan pada kedaulatan rakyat
Manifesto PRD
KPU akhirnya menetapkan perolehan suara, kemenangan mutlak diraih pasangan SBY – Boediono sebesar 60% lebih. Sementara dua pesaing lainnya, tertinggal dengan perolehan suara dibawah 50%. Terlepas dari masih adanya upaya hukum yang ditempuh dua pasangan, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto terkait adanya beberapa kecurangan dalam proses pilpres yang memang sejas awal ada masalah, tapi yang juga menjadi penting adalah bagaimana kelanjutan perjuangan kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto menentang agenda ekonomi neoliberal di Indonesia.
Kalau sebelum Pilpres isu Neoliberal atau dengan bahasa sederhana disebut penjajahan asing gaya baru begitu gencar disuarakan oleh kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, yang kemudian sibuk di jawab dan di klarifikasi dalam tiap kesempatan oleh kubu SBY – Boediono. Pasca pilpres akan menjadi tanda tanya, apakah mereka akan secara konsisten terus menyuarakan dan membuat tawaran-tawaran program yang lebih kongkrit untuk melawan haluan ekonomi neoliberal?, ataukah justru melupakan. Dan seandainya, mereka memilih opsi yang pertama, tentu akan lebih leluasa karena waktu yang panjang dan akan lebih mudah kedepannya untuk menunjukkan dan memperjelas pada rakyat kebenaran haluan ekonomi neoliberal yang dijalankan kubu SBY – Boediono dan menunjukkan efek negatifnya pada rakyat. Disamping itu, dukungan dan simpatik yang didapatkan bisa semakin luas, karena bisa dinilai konsisten dan punya haluan perjuangan yang jelas, tidak sekedar memanfaatkan isu neoliberal karena momentum dan kepentingan politik PILPRES, sehingga perjuangan anti neoliberal bisa semakin besar dan meluas.
Ilusi dan kesadaran politik yang labil
Walaupun dengan serangan neoliberalisme SBY – Boediono tetap mendapatkan perolehan suara tertinggi, tetapi ini bukan berarti rakyat tidak peduli atau tidak membawa efek sama sekali. Secara kwantitatif, sebenarnya terjadi penurunan sekitar 10% perolehan suara SBY – Boediono, dibandingkan antara hasil survei sebelumnya yang mencapai 70% lebih, dengan hasil rekap KPU. Ini juga adalah bukti penentangan rakyat pada neoliberal yang berpengaruh pada perubahan pilihan politik. Tetapi memang ada beberapa hal yang membuat isu neoliberal prosesnya lambat berterima. Pertama : kesadaran politik rakyat yang masih labil dan gampang terilusi. Berdasar hasil survei, angka potensi suara yang masih mengambang atau belum menentukan pilihan pra pilpres sangat besar, sekitar 30%. Ini selain sebagai efek depolitisasi masa pemerintahan Orde Baru, juga dipengaruhi pada tingkat kesejahteraan mayoritas rakyat yang sangat rendah. Kemiskinan dan rendahnya kesadaran politik menjadi lahan subur Money politik. Kedua: Pemahaman rakyat akan isu neoliberalisme yang harus diakui masih dangkal. Mereka merasakan efeknya, mulai dari PHK, sistem kontrak merajalela, kelangkaan pupuk, sulitnya lapangan kerja, harga barang dan jasa semakin mahal dll, bahkan sampai melakukan perlawanan lewat aksi-aksi demonstrasi. Tetapi mereka belum sepenuhnya memahami dan mau melawan ideologi neoliberal atau masih terpotong-potong. Paling tidak, belum dipahami massa luas dan masih sebagian kecil atau kelompok-kelompok tertentu saja. Ini pula yang membuat rakyat gampang terilusi atau berkompromi. Mereka marah karena di PHK, tetapi memilih SBY – Boediono karena mendapatkan BLT. Ini juga bisa dilihat, dari hasil perolehan suara PILPRES pada perkampungan-perkampungan buruh yang dominan masih dimenangkan SBY – Boediono, dengan tingkat angka golput tergolong rendah. Ketiga : Isu Neoliberalisme, sebelumnya masih dominan menjadi milik gerakan diluar kekuasaan. Walaupun kadang sesekali juga terdengar dari balik parlemen, tapi masih sangat lemah dan kadang tidak bersinergis dengan gerakan rakyat. Ketidak tegasan sikap elit atau kelompok penentang kebijakan neoliberal di parlemen, kadang menolak, terkadang menerima, menolak sebagian menerima yang lainnya. Seperti; Menolak Undang-Undang BHP tetapi menyetuji pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal atau sebaliknya, yang menciptakan keraguan dan kebingungan pada oposisi diluar parlemen, rakyat bisa berasumsi penentangan-penentangan mereka tidak tulus atau serius tapi hanya untuk menaikkan posisi tawar politik dalam momentum tertentu.
Oposisi Parlemen dan Gerakan Rakyat
Menumpukkan sepenuhnya pada parlemen yang ada, sudah bisa dipastikan kelompok oposisi akan kesulitan menghadang program-program neoliberalisme. Ini karena komposisi perolehan kursi legislatif yang masih didominasi masih kubu SBY – Boediono dan partai pendukungnya. Sehingga bisa diprediksi, program-program yang akan dijalankan pemerintah kedepannya akan berjalan mulus bila menyandarkan sepenuhnya pada perjuangan parlementer.
Jika akhirnya kubu Mega – Prabowo – Wiranto atau PDI Perjuangan, Gerindra dan Hanura memilih oposisi, dan Golkar memilih bergabung dalam pemerintahan SBY – Boediono. Maka solusi mengimbangi kekuatan pro neoliberal di parlemen harus diperjuangkan bersama rakyat dengan membangun kerja sama antara kekuatan oposisi anti neoliberal di dalam parlemen dan diluar parlemen secara terstruktur dengan landasan programtik yang jelas dan kongkrit, hingga semakin jelas dimata rakyat bahwa oposisi ini adalah kekuatan pro rakyat yang berhadapan dengan kekuatan pro modal asing.
Ini juga akan membawa pengaruh positif pada peningkatan kesadaran politik dan pemahaman rakyat, karena perlawanan tidak berhenti pada tingkatan elit politik di parlemen. Disini kelompok oposisi yang ada diparlemen terlebih dahulu menbuat garis demarkasi yang jelas dan kongkrit dengan kekuatan neoliberal sehingga mudah diketahui dan dimengerti rakyat, kemudian menyusun programatik yang menjadi tawaran mereka diluar bingkai neoliberal yang akan ditawarkan pada kelompok-kelompok penentang neoliberal di luar parlemen dan konstituen mereka. Sehingga kelompok oposisi diluar parlemen dan konstituen bisa memberikan penilaian sejauh mana konsistensi dan keseriusan menjalankan program dan haluan perjuangan. Misalnya, menawarkan program penyehatan APBN untuk mendukung program pendidikan dan kesehatan gratis dengan solusi penundaan pembayaran hutang dalam jangka waktu panjang. Atau pasangan Mega – Prabowo yang pernah membuat kontrak politik dengan buruh sebelum pelaksanaan Pilpres untuk menghapuskan sistem kontrak, maka representasi kubu mereka diparlemen bisa menyusun rumusan untuk mengkritisi atau merubah total UU.Ketenagakerjaan No.13. Ini ditawarkan dan didiskusikan bersama serikat-serikat buruh dan akan diperjuangkan bersama didalam dan diluar parlemen.
Ini terus menerus secara simultan dibicarakan dan diperjuangkan bersama, perwakilan-perwakilan oposisi diparlemen dalam waktu-waktu tertentu menghadiri rapat akbar yang diadakan rakyat dan menyampaikan tahapan-tahapan perjuangan yang sudah dilakukan untuk memenangkan program, menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada rakyat, menyampaikan kelompok-kelompok yang menentang, dan kemudian rakyat akan merespon untuk membicarakan pemecahannya. Misalnya, melakukan mobilisasi politik bersama untuk memberikan dukungan. Juga bisa dengan membangun sekretariat-sekretariat bersama atau posko sampai ketingkatan kelurahan atau desa yang juga akan menjadi sentra informasi dan struktur mobilisasi, sehingga rakyat betul-betul memahami kepentingan yang diperjuangkan, berhadapan dengan siapa?, kemudian terlibat melawannya, hingga akhirnya pada titik tertentu, koalisi ini diarahkan pada hal-hal yang lebih maju untuk memenangkan pertarungan politik dan memenangkan kekuasaan politik, baik ditingkatan lokal atau nasional.
Akan ada warna baru yang positif dalam dunia perpolitikan negeri ini, paling tidak pasca reformasi jika ini bisa terwujud. Dan kelompok gerakan, individu, akademisi, budayawan dan kelompok agamawan harus bergerak bersama mendorong koalisi ini terwujud, kalau tidak ingin bangsa ini terus terpuruk dan kerdil dimata bangsa lain. Akhir kata dibutuhkan koalisi besar untuk berhadapan melawan dominasi kekuatan politik neoliberal di eksekutif dan legislatif.
Penulis adalah Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia Kota Makassar
Pembangunan demokrasi yang sejati dan sepenuh-penuhnya
Haruslah di abdikan pada kedaulatan rakyat
Manifesto PRD
KPU akhirnya menetapkan perolehan suara, kemenangan mutlak diraih pasangan SBY – Boediono sebesar 60% lebih. Sementara dua pesaing lainnya, tertinggal dengan perolehan suara dibawah 50%. Terlepas dari masih adanya upaya hukum yang ditempuh dua pasangan, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto terkait adanya beberapa kecurangan dalam proses pilpres yang memang sejas awal ada masalah, tapi yang juga menjadi penting adalah bagaimana kelanjutan perjuangan kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto menentang agenda ekonomi neoliberal di Indonesia.
Kalau sebelum Pilpres isu Neoliberal atau dengan bahasa sederhana disebut penjajahan asing gaya baru begitu gencar disuarakan oleh kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, yang kemudian sibuk di jawab dan di klarifikasi dalam tiap kesempatan oleh kubu SBY – Boediono. Pasca pilpres akan menjadi tanda tanya, apakah mereka akan secara konsisten terus menyuarakan dan membuat tawaran-tawaran program yang lebih kongkrit untuk melawan haluan ekonomi neoliberal?, ataukah justru melupakan. Dan seandainya, mereka memilih opsi yang pertama, tentu akan lebih leluasa karena waktu yang panjang dan akan lebih mudah kedepannya untuk menunjukkan dan memperjelas pada rakyat kebenaran haluan ekonomi neoliberal yang dijalankan kubu SBY – Boediono dan menunjukkan efek negatifnya pada rakyat. Disamping itu, dukungan dan simpatik yang didapatkan bisa semakin luas, karena bisa dinilai konsisten dan punya haluan perjuangan yang jelas, tidak sekedar memanfaatkan isu neoliberal karena momentum dan kepentingan politik PILPRES, sehingga perjuangan anti neoliberal bisa semakin besar dan meluas.
Ilusi dan kesadaran politik yang labil
Walaupun dengan serangan neoliberalisme SBY – Boediono tetap mendapatkan perolehan suara tertinggi, tetapi ini bukan berarti rakyat tidak peduli atau tidak membawa efek sama sekali. Secara kwantitatif, sebenarnya terjadi penurunan sekitar 10% perolehan suara SBY – Boediono, dibandingkan antara hasil survei sebelumnya yang mencapai 70% lebih, dengan hasil rekap KPU. Ini juga adalah bukti penentangan rakyat pada neoliberal yang berpengaruh pada perubahan pilihan politik. Tetapi memang ada beberapa hal yang membuat isu neoliberal prosesnya lambat berterima. Pertama : kesadaran politik rakyat yang masih labil dan gampang terilusi. Berdasar hasil survei, angka potensi suara yang masih mengambang atau belum menentukan pilihan pra pilpres sangat besar, sekitar 30%. Ini selain sebagai efek depolitisasi masa pemerintahan Orde Baru, juga dipengaruhi pada tingkat kesejahteraan mayoritas rakyat yang sangat rendah. Kemiskinan dan rendahnya kesadaran politik menjadi lahan subur Money politik. Kedua: Pemahaman rakyat akan isu neoliberalisme yang harus diakui masih dangkal. Mereka merasakan efeknya, mulai dari PHK, sistem kontrak merajalela, kelangkaan pupuk, sulitnya lapangan kerja, harga barang dan jasa semakin mahal dll, bahkan sampai melakukan perlawanan lewat aksi-aksi demonstrasi. Tetapi mereka belum sepenuhnya memahami dan mau melawan ideologi neoliberal atau masih terpotong-potong. Paling tidak, belum dipahami massa luas dan masih sebagian kecil atau kelompok-kelompok tertentu saja. Ini pula yang membuat rakyat gampang terilusi atau berkompromi. Mereka marah karena di PHK, tetapi memilih SBY – Boediono karena mendapatkan BLT. Ini juga bisa dilihat, dari hasil perolehan suara PILPRES pada perkampungan-perkampungan buruh yang dominan masih dimenangkan SBY – Boediono, dengan tingkat angka golput tergolong rendah. Ketiga : Isu Neoliberalisme, sebelumnya masih dominan menjadi milik gerakan diluar kekuasaan. Walaupun kadang sesekali juga terdengar dari balik parlemen, tapi masih sangat lemah dan kadang tidak bersinergis dengan gerakan rakyat. Ketidak tegasan sikap elit atau kelompok penentang kebijakan neoliberal di parlemen, kadang menolak, terkadang menerima, menolak sebagian menerima yang lainnya. Seperti; Menolak Undang-Undang BHP tetapi menyetuji pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal atau sebaliknya, yang menciptakan keraguan dan kebingungan pada oposisi diluar parlemen, rakyat bisa berasumsi penentangan-penentangan mereka tidak tulus atau serius tapi hanya untuk menaikkan posisi tawar politik dalam momentum tertentu.
Oposisi Parlemen dan Gerakan Rakyat
Menumpukkan sepenuhnya pada parlemen yang ada, sudah bisa dipastikan kelompok oposisi akan kesulitan menghadang program-program neoliberalisme. Ini karena komposisi perolehan kursi legislatif yang masih didominasi masih kubu SBY – Boediono dan partai pendukungnya. Sehingga bisa diprediksi, program-program yang akan dijalankan pemerintah kedepannya akan berjalan mulus bila menyandarkan sepenuhnya pada perjuangan parlementer.
Jika akhirnya kubu Mega – Prabowo – Wiranto atau PDI Perjuangan, Gerindra dan Hanura memilih oposisi, dan Golkar memilih bergabung dalam pemerintahan SBY – Boediono. Maka solusi mengimbangi kekuatan pro neoliberal di parlemen harus diperjuangkan bersama rakyat dengan membangun kerja sama antara kekuatan oposisi anti neoliberal di dalam parlemen dan diluar parlemen secara terstruktur dengan landasan programtik yang jelas dan kongkrit, hingga semakin jelas dimata rakyat bahwa oposisi ini adalah kekuatan pro rakyat yang berhadapan dengan kekuatan pro modal asing.
Ini juga akan membawa pengaruh positif pada peningkatan kesadaran politik dan pemahaman rakyat, karena perlawanan tidak berhenti pada tingkatan elit politik di parlemen. Disini kelompok oposisi yang ada diparlemen terlebih dahulu menbuat garis demarkasi yang jelas dan kongkrit dengan kekuatan neoliberal sehingga mudah diketahui dan dimengerti rakyat, kemudian menyusun programatik yang menjadi tawaran mereka diluar bingkai neoliberal yang akan ditawarkan pada kelompok-kelompok penentang neoliberal di luar parlemen dan konstituen mereka. Sehingga kelompok oposisi diluar parlemen dan konstituen bisa memberikan penilaian sejauh mana konsistensi dan keseriusan menjalankan program dan haluan perjuangan. Misalnya, menawarkan program penyehatan APBN untuk mendukung program pendidikan dan kesehatan gratis dengan solusi penundaan pembayaran hutang dalam jangka waktu panjang. Atau pasangan Mega – Prabowo yang pernah membuat kontrak politik dengan buruh sebelum pelaksanaan Pilpres untuk menghapuskan sistem kontrak, maka representasi kubu mereka diparlemen bisa menyusun rumusan untuk mengkritisi atau merubah total UU.Ketenagakerjaan No.13. Ini ditawarkan dan didiskusikan bersama serikat-serikat buruh dan akan diperjuangkan bersama didalam dan diluar parlemen.
Ini terus menerus secara simultan dibicarakan dan diperjuangkan bersama, perwakilan-perwakilan oposisi diparlemen dalam waktu-waktu tertentu menghadiri rapat akbar yang diadakan rakyat dan menyampaikan tahapan-tahapan perjuangan yang sudah dilakukan untuk memenangkan program, menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada rakyat, menyampaikan kelompok-kelompok yang menentang, dan kemudian rakyat akan merespon untuk membicarakan pemecahannya. Misalnya, melakukan mobilisasi politik bersama untuk memberikan dukungan. Juga bisa dengan membangun sekretariat-sekretariat bersama atau posko sampai ketingkatan kelurahan atau desa yang juga akan menjadi sentra informasi dan struktur mobilisasi, sehingga rakyat betul-betul memahami kepentingan yang diperjuangkan, berhadapan dengan siapa?, kemudian terlibat melawannya, hingga akhirnya pada titik tertentu, koalisi ini diarahkan pada hal-hal yang lebih maju untuk memenangkan pertarungan politik dan memenangkan kekuasaan politik, baik ditingkatan lokal atau nasional.
Akan ada warna baru yang positif dalam dunia perpolitikan negeri ini, paling tidak pasca reformasi jika ini bisa terwujud. Dan kelompok gerakan, individu, akademisi, budayawan dan kelompok agamawan harus bergerak bersama mendorong koalisi ini terwujud, kalau tidak ingin bangsa ini terus terpuruk dan kerdil dimata bangsa lain. Akhir kata dibutuhkan koalisi besar untuk berhadapan melawan dominasi kekuatan politik neoliberal di eksekutif dan legislatif.
0 komentar:
Posting Komentar