Bangun Persatuan Nasional
Hadang Capres-Cawapres Pro-Neoliberalisme
Fakta-fakta ekonomi dunia selama periode akhir tahun 2008 hingga pertengahan tahun 2009 menunjukkan bahwa kapitalisme neoliberal telah hampir habis masanya. Setelah lebih seperempat abad mengakumulasikan kekayaan dunia di tangan segelintir CEO dan menciptakan kemiskinan akut di negara-negara dunia ketiga , kini neoliberalisme harus mendapatkan batunya
Di Indonesia, dampak buruk penerapan neoliberalisme benar-benar terasa dan mengerikan bagi kehidupan 230 juta penduduk Indonesia. Wajar, jika kemudian, berbagai sektor sosial dan kelompok masyarakat menyuarakan penolakannya terhadap neoliberalisme.
Dengan neoliberalisme, kehidupan ekonomi sepenuhnya ditentukan oleh pasar, dimana keputusan-keputusan dan kepentingan kolektif disubordinasikan dibawah kepentingan segelintir orang—para oligharki perusahaan financial dan pemilik perusahaan multinasinonal. Akibatnya, asset dan sumber daya hanya dinikmati oleh segelintir orang, yang kalau di Indonesia hanya dirasakan oleh kurang dari 10% dari penduduk Indonesia. sementara mayoritas penduduk, terutama kalangan bawah, harus terlunta-lunta dan terombang-ambing dalam kehidupan ekonomi yang begitu sulit.
Bukan itu saja, neoliberalisme juga tidak punya kepentingan untuk pembangunan sosial dan pengembangan kapasitas produktif individu. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintahan neoliberal, SBY, begitu agressif memotong subsidi sosial, memprivatisasi sejumlah BUMN, menerapkan deregulasi dan liberalisasi pada segala sektor ekonomi, sehingga menyebabkan perekonomian nasional hancur berantakan. Tidak aneh, dalam lima tahun masa pemerintahan SBY, telah terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Akibatnya sudah bisa ditebak, produktifitas nasional terus menerus merosot berjalan pararel dengan PHK massal.
Produktifitas rakyat Indonesia merosot. Selain gejala deindustrialisasi yang mendorong peningkatan PHK, tidak adanya program pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian dan memperluas lapangan kerja, menjadi penyebab mayoritas rakyat Indonesia tidak bekerja atau menganggur. Lihat saja, misalnya, pada tahun 2008 terdapat terdapat 69% rakyat Indonesia yang bekerja serabutan (tukang ojek, tukang parkir, tukang cuci, PKL, buruh bangunan, buruh angkut, dsb) setiap harinya, dan 8,14 % orang yang bekerja kurang dari 1 jam dalam seminggu.
Lantas, dengan demikian, kita tidak bisa lagi berharap pada sistim yang sudah terbukti gagal. Meskipun sudah terbukti gagal, masih ada capres dan cawapres yang mencoba mengadvokasi dan melanjutkannya, yaitu pasangan SBY-Budiono. Meski tidak begitu eksplisit, tapi program ekonomi tawaran SBY-Budiono masih kental berbau neolib, meskipun dibungkus dengan nama “ekonomi kerakyatan. Diluar SBY-Budiono yang jelas-jelas neolib, terdapat pasangan industrialis (JK-WIN) yang bervisi membangun kemandirian bangsa, dan juga pasangan nasionalis (Megapro) yang bervisi membangun ekonomi kerakyatan.
Visi kedua pasangan tersebut, bagaimanapun, perlu diapresiasi secara positif sebagai bentuk respon politik kapitalis nasional terhadap dampak buruk neoliberalisme. Selain itu, hal ini harus dipandang sebagai salah satu tenaga pendorong untuk memperkuat blok anti-neoliberalisme di Indonesia.
Untuk itu, menjadi penting dan wajib bagi seluruh gerakan rakyat maupun elit politik yang bertarung dalam pilpres untuk menghadangnya. Menghadang SBY-Budiono adalah menghadang Neoliberalisme. Untuk itu, seluruh energi politik yang punya komitmen menentang SBY-Budiono dan agenda neoliberalnya, harus dipersatukan. Maka, kami menganjurkan agar kedua pasang capres dan cawapres diluar SBY, yaitu Mega-Pro dan JK-Win, untuk bersatu. Hanya dengan persatuanlah kita menjadi kuat, dan dengan itu kita bisa menghadang neoliberalisme.
Sementara itu, dalam hal program, kedua capres dan cawapres yang “mengaku” anti neolib ini belum juga konkret. Menurut kami, ada beberapa hal yang perlu dijawab dengan tegas oleh para kandidat tersebut:
1. Menciptakan garis demarkasi (pembeda) yang jelas dan terang antara mana yang pro-neoliberal dan mana yang anti neoliberal. Untuk ini, kubu anti neoliberal harus menelanjangi tanpa ampun watak dan tujuan sejati dari kubu neoliberalisme.
2. Bagaimana menjamin persoalan kesejahteraan rakyat dan pembangunan kapasitas produktifnya. Untuk melakukan ini, kubu anti-neoliberal tidak bisa hanya dengan bersandar pada janji-janji abstrak, tetapi mulai memformulasikan program yang terang dan jelas berpihak kepada rakyat.
3. Untuk menumbangkan dan mengalahkan neoliberalisme dan kaki tangannya, maka kubu anti-neoliberal harus mendukung politik mobilisasi rakyat dan partisipasi politik rakyat, baik dalam menstimulasi perjuangan sosial ekonomi maupun dalam pengambilan keputusan politik.
Bagi kami, Sukarelawan Perjuangan Rakyat untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN), solusi dan jalan terang untuk mengeluarkan rakyat dari persoalan sosialnya adalah Tri-Panji Persatuan Nasional, yang berisikan program; Nasionalisasi Perusahaan Tambang Asing, Penghapusan Utang Luar Negeri, dan Industrialisasi Nasional untuk kesejahteraan rakyat.
Selain itu, kami menilai, kedua pasangan capres anti neoliberal belum punya program yang konkret dan tegas untuk mencapai bangsa yang mandiri dan berdaulat, serta pro-rakyat. Adapun point-point kritik kami, adalah sebagai berikut;
Pertama, kedua pasang capres belum tegas sikap politiknya dalam memutus hubungan dengan lembaga internasional penopang neoliberalisme, seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia. Selain itu, para kandidat juga belum tegas untuk menghentikan paket kebijakan liberalisasi ekonomi, termasuk mencabut perundang-undangan yang berbau pro-liberalisasi, seperti UU Migas, UU Minerba, UU penanaman modal, UU BHP, UU ketenaga kerjaan, UU Bank Indonesia, dan sebagainya. Selain itu, bentuk-bentuk kesepakatan perdagangan bebas, baik dengan WTO maupun regional dan bilateral, harus dihapuskan.
Kedua, Pemulihan peran negara yang lebih besar sebagai alat untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dengan kekuasaan politik ditangannya, negara punya kesempatan untuk menjalankan kedaulatan ekonomi (nasionalisme ekonomi) bagi rakyatnya, meliputi;
I. Mengambil alih kontrol terhadap sumber daya alam dari tangan asing, khususnya di sektor pertambangan (migas, mineral, batubara, dll), telekomunikasi, industri baja dan aluminium, industri kertas, dan lain sebagainya.
II. Me-renasionalisasi perusahaan-perusahaan layanan publik (air, listrik, transportasi, dsb), serta memperkuat anggaran untuk aspek pelayanan public agar bisa diakses seluruh rakyat.
III. Menciptakan regulasi terhadap aktivitas perdagangan, investasi, dan arus keluar masuk capital. Selain itu, pasar financial dan tenaga kerja harus diatur supaya bisa memperkuat sektor real (industrialisasi).
IV. Merubah orientasi ekonomi dalam hal ekspor maupun Impor. Misalnya, menghentikan kegiatan ekspor baham mentah ke negara-negara maju, tetapi memprioritaskan pembangunan industri pengolahan di dalam negeri, sehingga bisa memberi multiplier effect bagi rakyat, seperti peningkatan nilai tambah, pembukaan lapangan kerja, serta penyedia bahan baku bagi industri.
Ketiga, meningkatkan partisipasi politik rakyat dalam kehidupan politik dan pembangunan. Rakyat mulai diajak membicarakan persoalannya dan mencarikan solusinya secara bersama-sama. Sudah saatnya rakyat menjadi subjek, bukan lagi sekedar dijadikan objek dari proses pembangunan. Model-model demokrasi partisipatif dan konsultatif sudah harus diberi tempat.
Secara umum, kami menyatakan beberapa point sikap kami mengenai penyelenggaraan pilpres 2009;
1. Menyerukan kepada seluruh kekuatan politik, sektor-sektor sosial rakyat Indonesia, untuk membangun persatuan melawan capres dan cawapres pro-neoliberalisme (SBY-BUDIONO);
2. Menyerukan kepada Capres-cawapres (yang) anti neolib, baik kubu JK-WIN maupun MEGA-PRO, untuk membangun persatuan nasional menghadapi pasangan capres-cawapres pro-neolib;
3. Menyerukan kepada capres anti-neoliberal untuk konsisten mengusung program jalan keluar rakyat Indonesia, yaitu Tripanji Persatuan Nasional; Nasionalisasi Industri Pertambangan, Penghapusan Utang Luar Negeri, dan Industrialisasi Nasional (bangun pabrik) untuk kesejahteraan rakyat;
4. Menyerukan kepada capres anti-neolib untuk membangun gerakan dan struktur anti neoliberalisme hingga ke kampung-kampung, RT/RW, kampus-kampus, dan pabrik;
5. Menyerukan kepada capres-cawapres anti neolib untuk membangun kontrak politik terbuka terhadap seluruh rakyat Indonesia, terutama mengenai pemenuhan hak dasar rakyat; sembako (pangan), energi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya.
6. Menyerukan kepada seluruh kekuatan-kekuatan progressif dan sektor-sektor rakyat korban neolib di seluruh Indonesia, untuk bahu-membahu membangun wadah bersama (front persatuan) anti neoliberalisme;
Demikian statemen ini kami buat. Atas kerjasamanya, kami mengucapkan banyak terima kasih.
Hadang Capres-Cawapres Pro-Neoliberalisme
Fakta-fakta ekonomi dunia selama periode akhir tahun 2008 hingga pertengahan tahun 2009 menunjukkan bahwa kapitalisme neoliberal telah hampir habis masanya. Setelah lebih seperempat abad mengakumulasikan kekayaan dunia di tangan segelintir CEO dan menciptakan kemiskinan akut di negara-negara dunia ketiga , kini neoliberalisme harus mendapatkan batunya
Di Indonesia, dampak buruk penerapan neoliberalisme benar-benar terasa dan mengerikan bagi kehidupan 230 juta penduduk Indonesia. Wajar, jika kemudian, berbagai sektor sosial dan kelompok masyarakat menyuarakan penolakannya terhadap neoliberalisme.
Dengan neoliberalisme, kehidupan ekonomi sepenuhnya ditentukan oleh pasar, dimana keputusan-keputusan dan kepentingan kolektif disubordinasikan dibawah kepentingan segelintir orang—para oligharki perusahaan financial dan pemilik perusahaan multinasinonal. Akibatnya, asset dan sumber daya hanya dinikmati oleh segelintir orang, yang kalau di Indonesia hanya dirasakan oleh kurang dari 10% dari penduduk Indonesia. sementara mayoritas penduduk, terutama kalangan bawah, harus terlunta-lunta dan terombang-ambing dalam kehidupan ekonomi yang begitu sulit.
Bukan itu saja, neoliberalisme juga tidak punya kepentingan untuk pembangunan sosial dan pengembangan kapasitas produktif individu. Selama beberapa tahun terakhir, pemerintahan neoliberal, SBY, begitu agressif memotong subsidi sosial, memprivatisasi sejumlah BUMN, menerapkan deregulasi dan liberalisasi pada segala sektor ekonomi, sehingga menyebabkan perekonomian nasional hancur berantakan. Tidak aneh, dalam lima tahun masa pemerintahan SBY, telah terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Akibatnya sudah bisa ditebak, produktifitas nasional terus menerus merosot berjalan pararel dengan PHK massal.
Produktifitas rakyat Indonesia merosot. Selain gejala deindustrialisasi yang mendorong peningkatan PHK, tidak adanya program pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian dan memperluas lapangan kerja, menjadi penyebab mayoritas rakyat Indonesia tidak bekerja atau menganggur. Lihat saja, misalnya, pada tahun 2008 terdapat terdapat 69% rakyat Indonesia yang bekerja serabutan (tukang ojek, tukang parkir, tukang cuci, PKL, buruh bangunan, buruh angkut, dsb) setiap harinya, dan 8,14 % orang yang bekerja kurang dari 1 jam dalam seminggu.
Lantas, dengan demikian, kita tidak bisa lagi berharap pada sistim yang sudah terbukti gagal. Meskipun sudah terbukti gagal, masih ada capres dan cawapres yang mencoba mengadvokasi dan melanjutkannya, yaitu pasangan SBY-Budiono. Meski tidak begitu eksplisit, tapi program ekonomi tawaran SBY-Budiono masih kental berbau neolib, meskipun dibungkus dengan nama “ekonomi kerakyatan. Diluar SBY-Budiono yang jelas-jelas neolib, terdapat pasangan industrialis (JK-WIN) yang bervisi membangun kemandirian bangsa, dan juga pasangan nasionalis (Megapro) yang bervisi membangun ekonomi kerakyatan.
Visi kedua pasangan tersebut, bagaimanapun, perlu diapresiasi secara positif sebagai bentuk respon politik kapitalis nasional terhadap dampak buruk neoliberalisme. Selain itu, hal ini harus dipandang sebagai salah satu tenaga pendorong untuk memperkuat blok anti-neoliberalisme di Indonesia.
Untuk itu, menjadi penting dan wajib bagi seluruh gerakan rakyat maupun elit politik yang bertarung dalam pilpres untuk menghadangnya. Menghadang SBY-Budiono adalah menghadang Neoliberalisme. Untuk itu, seluruh energi politik yang punya komitmen menentang SBY-Budiono dan agenda neoliberalnya, harus dipersatukan. Maka, kami menganjurkan agar kedua pasang capres dan cawapres diluar SBY, yaitu Mega-Pro dan JK-Win, untuk bersatu. Hanya dengan persatuanlah kita menjadi kuat, dan dengan itu kita bisa menghadang neoliberalisme.
Sementara itu, dalam hal program, kedua capres dan cawapres yang “mengaku” anti neolib ini belum juga konkret. Menurut kami, ada beberapa hal yang perlu dijawab dengan tegas oleh para kandidat tersebut:
1. Menciptakan garis demarkasi (pembeda) yang jelas dan terang antara mana yang pro-neoliberal dan mana yang anti neoliberal. Untuk ini, kubu anti neoliberal harus menelanjangi tanpa ampun watak dan tujuan sejati dari kubu neoliberalisme.
2. Bagaimana menjamin persoalan kesejahteraan rakyat dan pembangunan kapasitas produktifnya. Untuk melakukan ini, kubu anti-neoliberal tidak bisa hanya dengan bersandar pada janji-janji abstrak, tetapi mulai memformulasikan program yang terang dan jelas berpihak kepada rakyat.
3. Untuk menumbangkan dan mengalahkan neoliberalisme dan kaki tangannya, maka kubu anti-neoliberal harus mendukung politik mobilisasi rakyat dan partisipasi politik rakyat, baik dalam menstimulasi perjuangan sosial ekonomi maupun dalam pengambilan keputusan politik.
Bagi kami, Sukarelawan Perjuangan Rakyat untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN), solusi dan jalan terang untuk mengeluarkan rakyat dari persoalan sosialnya adalah Tri-Panji Persatuan Nasional, yang berisikan program; Nasionalisasi Perusahaan Tambang Asing, Penghapusan Utang Luar Negeri, dan Industrialisasi Nasional untuk kesejahteraan rakyat.
Selain itu, kami menilai, kedua pasangan capres anti neoliberal belum punya program yang konkret dan tegas untuk mencapai bangsa yang mandiri dan berdaulat, serta pro-rakyat. Adapun point-point kritik kami, adalah sebagai berikut;
Pertama, kedua pasang capres belum tegas sikap politiknya dalam memutus hubungan dengan lembaga internasional penopang neoliberalisme, seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia. Selain itu, para kandidat juga belum tegas untuk menghentikan paket kebijakan liberalisasi ekonomi, termasuk mencabut perundang-undangan yang berbau pro-liberalisasi, seperti UU Migas, UU Minerba, UU penanaman modal, UU BHP, UU ketenaga kerjaan, UU Bank Indonesia, dan sebagainya. Selain itu, bentuk-bentuk kesepakatan perdagangan bebas, baik dengan WTO maupun regional dan bilateral, harus dihapuskan.
Kedua, Pemulihan peran negara yang lebih besar sebagai alat untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dengan kekuasaan politik ditangannya, negara punya kesempatan untuk menjalankan kedaulatan ekonomi (nasionalisme ekonomi) bagi rakyatnya, meliputi;
I. Mengambil alih kontrol terhadap sumber daya alam dari tangan asing, khususnya di sektor pertambangan (migas, mineral, batubara, dll), telekomunikasi, industri baja dan aluminium, industri kertas, dan lain sebagainya.
II. Me-renasionalisasi perusahaan-perusahaan layanan publik (air, listrik, transportasi, dsb), serta memperkuat anggaran untuk aspek pelayanan public agar bisa diakses seluruh rakyat.
III. Menciptakan regulasi terhadap aktivitas perdagangan, investasi, dan arus keluar masuk capital. Selain itu, pasar financial dan tenaga kerja harus diatur supaya bisa memperkuat sektor real (industrialisasi).
IV. Merubah orientasi ekonomi dalam hal ekspor maupun Impor. Misalnya, menghentikan kegiatan ekspor baham mentah ke negara-negara maju, tetapi memprioritaskan pembangunan industri pengolahan di dalam negeri, sehingga bisa memberi multiplier effect bagi rakyat, seperti peningkatan nilai tambah, pembukaan lapangan kerja, serta penyedia bahan baku bagi industri.
Ketiga, meningkatkan partisipasi politik rakyat dalam kehidupan politik dan pembangunan. Rakyat mulai diajak membicarakan persoalannya dan mencarikan solusinya secara bersama-sama. Sudah saatnya rakyat menjadi subjek, bukan lagi sekedar dijadikan objek dari proses pembangunan. Model-model demokrasi partisipatif dan konsultatif sudah harus diberi tempat.
Secara umum, kami menyatakan beberapa point sikap kami mengenai penyelenggaraan pilpres 2009;
1. Menyerukan kepada seluruh kekuatan politik, sektor-sektor sosial rakyat Indonesia, untuk membangun persatuan melawan capres dan cawapres pro-neoliberalisme (SBY-BUDIONO);
2. Menyerukan kepada Capres-cawapres (yang) anti neolib, baik kubu JK-WIN maupun MEGA-PRO, untuk membangun persatuan nasional menghadapi pasangan capres-cawapres pro-neolib;
3. Menyerukan kepada capres anti-neoliberal untuk konsisten mengusung program jalan keluar rakyat Indonesia, yaitu Tripanji Persatuan Nasional; Nasionalisasi Industri Pertambangan, Penghapusan Utang Luar Negeri, dan Industrialisasi Nasional (bangun pabrik) untuk kesejahteraan rakyat;
4. Menyerukan kepada capres anti-neolib untuk membangun gerakan dan struktur anti neoliberalisme hingga ke kampung-kampung, RT/RW, kampus-kampus, dan pabrik;
5. Menyerukan kepada capres-cawapres anti neolib untuk membangun kontrak politik terbuka terhadap seluruh rakyat Indonesia, terutama mengenai pemenuhan hak dasar rakyat; sembako (pangan), energi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sebagainya.
6. Menyerukan kepada seluruh kekuatan-kekuatan progressif dan sektor-sektor rakyat korban neolib di seluruh Indonesia, untuk bahu-membahu membangun wadah bersama (front persatuan) anti neoliberalisme;
Demikian statemen ini kami buat. Atas kerjasamanya, kami mengucapkan banyak terima kasih.
1 komentar:
seribuan, massa rakyat yang tergabung dalam SPARTAN melakukan demonstrasi di KPU Sul Sel; Tolak Capres/Cawapres Pro Neolib, bangun koalisi persatuan Nasional untuk KEMANDIRIAN BANGSA.
Posting Komentar