Sabtu, 08 Agustus 2009

Mbah Surip dan Sang Presiden


Oleh : R o s m a h
Penulis adalah ketua FNPBI Kota Makassar

''Sangat sulit diterima akal sehat jika kita bilang bahwa segalanya baik, tetapi di jalan-jalan kita masih melihat banyak orang miskin yang mencoba mempertahankan hidupnya,''
Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian 2006
Selasa, 4 agustus 2009, perjalanan hidupnya berakhir. Dengan cepat, kabar tentang kematiannya beredar luas. Teman-teman, keluarga, kerabat sampai penggemarnya yang berasal dari berbagai macam lapisan masyarakat, semua berduka. Tidak tanggung-tanggung, sang Presiden SBY ikut menyampaikan duka cita atas kepergiannya, bahkan mengirimkan karangan bunga. Dialah Mbah Surip, sang fenomenal yang dalam empat bulan terakhir namanya melejit lewat lagunya ”tak gendong”.
Sejak tahun 1979, meninggalkan kampungnya Mojokerto dan memilih merantau ke Jakarta. Dia tidak langsung ngetop seperti sekarang ini, perjalanan hidupnya penuh dengan lika-liku perjuangan, dari mengamen, calo tiket bioskop, jualan es keliling sampai jualan bakso dia lakoni untuk memenuhi kebutuhannya, tapi yang pasti, dia tidak pernah menjual asset negara atau kekayaan alam Indonesia, seperti yang banyak dilakukan pemimpin negeri ini. Ada banyak cerita tentang sosok Mbah Surip, sebelum namanya tenar seperti sekarang ini. Dari cerita teman-temannya, bisa dikatakan Mbah Surip adalah orang yang kuat, dan selalu optimis menjalani hidup. Sebesar apapun persoalan yang dia hadapi dia tetap ceria dengan ciri khas tawanya. Jauh sebelum namanya melejit dipentas musik tanah air, hidupnya tidak jauh beda dengan nasib mayoritas rakyat Indonesia yang miskin, bahkan kadang-kadang dia menggelar koran di emperan toko sehabis ngamen untuk beristirahat. Gaya hidup seperti itu dia jalani kurang lebih sekitar 20 tahun, tapi dia tidak mengeluh, meminta bantuan apalagi mengemis pada orang lain, tapi kalau dibantu dia juga tidak menolak. Mungkin, karena interaksinya dengan masyarakat bawah selama puluhan tahun membuat dia senang membantu dan dia juga punya obsesi sebelum kepergiannya untuk membangun rumah singgah untuk anak jalanan.
Di saat popularitasnya naik, penampilan dan gaya hidup Mbah Surip tetap sederhana. Berbeda dengan kebanyakan selebritis di negeri ini, atau politisi yang sangat senang menganjurkan pada rakyat yang sudah miskin untuk berhemat di saat krisis, tetapi dia sendiri hidup bermewah-mewahan dengan di tunjang berbagai macam fasilitas yang di biayai dari anggaran negara. Dia tampil apa adanya, tidak ada yang ditutupi kecuali ketika yang ditanyakan tentang keluarganya. Dia menawarkan karyanya, lagunya yang syairnya sederhana tapi tetap punya makna.
Perjalanan hidup Mbah Surip adalah cermin hidup mayoritas rakyat Indonesia yang menjadi korban kebijakan ekonomi neoliberal, bekerja serabutan, tinggal dirumah sederhana atau bahkan tidak punya rumah dengan tingkat penghasilan yang minim. Para pekerja sektor informal yang jumlahnya terus meningkat dari 63% ditahun 2005, menjadi 69% ditahun 2009 sebagai salah satu efek kehancuran industri nasional yang justru oleh pemerintahan SBY diklaim sebagai keberhasilan mengurangi jumlah pengangguran terbuka, tersisa 8,14% dari total angkatan kerja sampai pada februari 2009. Orang sudah dianggap bekerja, apabila bisa bekerja satu jam dalam seminggu atau kurang dari 35 jam dalam seminggu.
Kalau Mbah Surip dalam kondisi hidup yang serba kekurangan dia pantang untuk meminta apalagi sampai mengemis dan dengan kemampuan kreatifitasnya mencari solusi, ketika dia sangat menginginkan gitar tapi tidak punya cukup uang dia memilih untuk membuat sendiri gitar kotak. Karakter yang sangat berbeda dengan Pemimpin Bangsa Indonesia saat ini yang lebih senang mengemis dan meminta bantuan pada negara lain atau lembaga donor yang justru membuat bangsa kita sangat tergantung, tergadaikan kekayaan alamnya, dan di peras APBN-nya untuk membayar bunga dan cicilan utang, sehingga APBN tidak mampu dioptimalkan penggunaannya untuk peningkatan pelayanan sosial. Dan dalam suatu wawancara, ketika ditanya soal utang negeri ini yang menumpuk, dengan santai dia menjawab, ”itu karena bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang nggak bener”.
Entah benar atau tidak, Mbah Surip katanya pernah dikontrak bekerja diperusahaan tambang minyak luar negeri. Ini sudah cerita umum, banyak TKI bekerja di luar negeri, walaupun banyak kasus kekerasan terhadap TKI di luar negeri tapi ini tidak menyurutkan minat rakyat Indonesia mencari nafkah dengan menjual tenaga diluar negeri. Selain didorong oleh tingkah upah yang lebih bagus, juga karena memang sulit mendapatkan pekerjaan di negeri ini. Lihat saja pertumbuhan industri dalam negeri terus mengalami penurunan. Dalam lima tahun terakhir, pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). PHK-PHK massal tetap terjadi karena keruntuhan industri nasional tersapu oleh krisis dan juga karena ketidak mampuan bersaing dengan produk asing yang sudah membanjiri pasar dalam negeri akibat ketiadaan proteksi yang dilakukan pemerintah. Ini salah satu efek kebijakan neoliberal, dimana pasar dalam negeri dibuka seluas-luasnya oleh negara dan membiarkan modal bersaing secara bebas lewat mekanisme pasar. Selain industri sektor riil yang sudah terbebani dengan tingginya biaya produksi, produk-produk UKM juga semakin tersingkir dipasar domestik oleh serbuan produk luar.
Kalau Tenaga Kerja Indonesia menjual tenaga diluar negeri, pemimpin negeri ini justru sangat senang menjual asset negeri ini kepada asing. Dalam lima tahun terakhir, dibawah pemerintahan SBY, ada 44 BUMN dilego. Dan privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Jadi, SBY benar-benar “royal” dalam mengobral BUMN.
Untuk melancarkan proyek “obral” asset-asset negeri ini, pemerintahan SBY mengesahkan UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan Peraturan Presiden No. 76 dan 77. Dalam UU Penanaman Modal ini, tidak ada lagi perlakuan yang berbeda antara modal asing dan dalam negeri. Selain itu, UU PM ini juga menjamin kepemilikan saham oleh pihak asing hingga 100%. Artinya, dengan UU PM ini, Indonesia tidak punya lagi kedaulatan ekonomi. Dampaknya, di sektor migas, pihak asing mengontrol hingga 85-90% pengelolan migas nasional, yang berdampak 85% produksi migas nasional dikontrol oleh pihak asing. Kemudian, Sebanyak 65% kepemilikan saham di pasar modal adalah asing. Sebesar 14 milyar dollar AS kepemilikan SBI dan SUN adalah asing.
Penerapan liberalisasi investasi juga berdampak pada penguasaan lebih dari 95 juta hektar lahan kepada perusahaan minyak asing di sektor hulu dalam rangka ekploitasi minyak. Lebih dari 40 juta hektar diserahkan dalam rangka eksploitasi mineral dan batubara, sekitar 7 juta hektar diserahkan untuk korporasi perkebunan dan sekitar 31 juta hektar diserahkan untuk korporasi kehutanan.
Mbah Surip memang bukan Presiden, juga bukan elit politik. Dia Cuma seorang seniman jalanan yang di masa akhir hidupnya mendapatkan kesempatan dari industri musik kapitalis. Berbeda dengan pemimpin negeri ini yang menjadikan bangsa ini pasar bagi bangsa lain dan membiarkan kekayaan alamnya di jarah oleh bangsa asing. Sayang bangsa besar yang rakyatnya sederhana dan kuat menjalani kesulitan hidup, tapi pemimpinnya berjiwa kerdil, lebih memilih menjadi pelayan bagi modal asing dari pada berjuang bersama rakyatnya untuk menjadi bangsa yang kuat dan mandiri.

Masih ada ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan seniman jalanan yg masih menggelandang di negeri ini, berjuang mempertahankan hidup, menjaga eksistensi dan idealismenya berkarya dalam kepungan sistem kapital yang tak bersahabat.
.



0 komentar:

Posting Komentar