Selasa, 13 April 2010 | 22.37 WIB
Ratusan petani kakao bersama dengan aktivis mahasiswa mendatangi Gedung Keuangan, Makassar, Selasa (13/4), untuk menolak keputusan Menkeu menaikkan bea keluar kakao dari 5-15%.
Menurut Arham, koordinator aksi ini, Permenkeu No. 67/PMK.011/2010 tanggal 22 Maret 2010 Tentang Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar kakao akan menyengsarakan kehidupan para petani kakao di Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, Arham menjelaskan, kenaikan bea keluar kakao akan memukul pendapatan para petani dan akan menurunkan posisi Sulsel sebagai pengekspor kakao.
"Kalau sebelumnya petani bisa mendapatkan penghasilan kotor Rp.8.150.000, maka Permenkeu soal kenaikan bea keluar akan menurunkan nilai penghasilan tersebut. Bahkan kerugian petani kakao Sulsel akan mencapai sekitar 490 milyar rupiah pertahun" katanya.
Dalam aksi itu, perwakilan petani diterima oleh pihak Departemen Keuangan Makassar. Pihak Depkeu bersedia menyepakati sejumlah tuntutan dari massa ini dan berjanji untuk mengirimkan statemen pernyataan sikap petani ke Menkeu RI di Jakarta.
Pendapat Sedikit Berbeda
Pendapat sedikit berbeda disampaikan oleh Ketua Umum Serikat Tani Nasional, Yudi Budi Wibowo. Menurutnya, logika Kepmenkeu ini sudah tepat, dalam artian memberikan ruang dan porsi khusus untuk membicarakan masa depan industri kakao di dalam negeri. Namun, keputusan ini juga bisa menjadi isapan jempol belaka, kalau basis untuk membicarakan industri nasionalnya justru tidak terlihat.
Yudi menyampaikan sejumlah catatan kritis mengenai Kepmenkeu ini dan hubungannya dengan kepentingan industri nasional, antara lain: Pertama, persoalan industri pengolahan kakao di dalam negeri bukanlah persoalan bahan baku, melainkan persoalan kebijakan industri yang kurang tepat. Pada tahun 2008, sebagai contoh, total produksi kakao nasional mencapai 580 ribu ton, sedangkan kapasitas industri di dalam negeri baru berkisar 300 ribu ton. Ini berarti industri dalam negeri hanya bisa menyerap separuh dari produksi nasional.
Kedua, Karena kurangnya dukungan dari pemerintah, sebagian besar pabrik olahan kakao di dalam negeri mengalami kehancuran. Dari 15 pabrik industri kakao, sekarang tinggal 5 yang berjalan normal. Dalam hal ini, penyebabnya adalah kualitas biji kakao yang masih rendah dibanding beberapa negara-negara produsen kakao lainnya seperti Malaysia, Ghana, Amerika dan Brazil. Tentunya, ini sangat berkaitan dengan dukungan modal dan teknologi bagi petani kakao, dan itu seharusnya disediakan oleh pemerintah.
Ketiga, Keterkaitan antara sumber pasokan bahan baku, dalam hal ini sentra penghasil kakao di Indonesia, dengan lokasi industri pengolahan tidak saling mendukung. Sebagian besar industri olahan kakao terkonsentrasi di Pulau Jawa, sedangkan sentra produksi kakao nasional berpusat di kawasan timur dan barat Indonesia (Sulsel, Sulteng, Sulbar, Sumbar, dll). Ini menciptakan ekonomi biaya tinggi.
Yudi menuntut agar pengenaan bea ekspor jangan hanya diberlakukan untuk kakao, namun juga harus diberlakukan untuk sekto strategis lainnya seperti minyak, gas, batubara, kehutanan, dan lain sebagainya.
Dipertanyakan soal solusi dari Kepmenkeu ini, Yudi mengatakan, kita tidak akan menolak Permen yang sudah mendahulukan kepentingan nasional. Namun, agar tidak menindas dan merugikan petani, pemberlakuan efektif peraturan ini dapat menunggu selesainya proses pembangunan industri kakao dalam negeri dan segala perangkat pendukung yang diperlukan.
"Jadi, untuk sementara, proses penjualan kakao masih dilakukan seperti sekarang ini, sampai proses pembangunan industri selesai," tegasnya. (Ulf)
0 komentar:
Posting Komentar