Rudi Hartono
Kubu Neoliberal, berdasarkan penghitungan Quick Count, sudah dapat dipastikan akan merengkuh kemenangan. Di samping itu, SBY juga dipastikan meraih kemenangan secara mayoritas di hampir seluruh daerah, kecuali Bali, Sulsel, Gorontalo, dan sebagainya. Dengan kemenangan yang hampir telak ini, kubu neoliberal terbawa kepada sebuah efhouria kemenangan yang berlebihan, sampai-sampai, mereka terjebak untuk menyampaikan pidato kemenangannya sebelum keputusan resmi diumumkan. Tanpa disadari, terutama oleh SBY, pemilu presiden (Pilpres) telah memupuk pemahaman baru bagi sentimen anti-neoliberalisme. Wacana neoliberal kini bukan lagi diskursus akademik maupun manual para aktifis, tapi kini sudah menyebar dan menggelinding secara liar hingga ke tingkatan massa di bawah. Tentunya, jika tidak berhati-hati, predikat “buruk” neolib akan segera dicapkan kepada pemerintahan yang anti rakyat, termasuk SBY-Budiono, nantinya.
Potensi Oposisi di Parlemen
Baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden (Pilpres), kekuatan pro-neoliberal berhasil memperoleh kemenangan mutlak. Hal ini juga menandaskan bahwa kubu neoliberal akan menjadi kekuatan politik dominan, baik di parlemen maupun di eksekutif. Dengan begitu, mereka bisa memaksakan konsensus kepada kekuatan politik yang lebih kecil bukan agar menerima proposal politik mereka. Disamping itu, pososi dominan ini juga memudahkan mereka mengontrol parlemen dan eksekutif, serta menciptakan stabilitas yang cukup bagi pemerintahan (administatur) mereka. Di parlemen, kubu neoliberal berhasil membentuk koalisi besar banyak partai, dan menjadi kekuatan sangat besar di parlemen. sementara itu, di eksekutif, sudah dipastikan bahwa SBY akan menempatkan begitu banyak kaum teknokrat pendukung neoliberal untuk menggantikan “kelompok kepentingan”, seperti yang dijanjikannya kepada tuan-tuan asing mereka; korporasi dan perusahaan financial raksasa. Berhadapan dengan “gurita besar” ini, terjadi kegoyahan yang tidak kecil di kalangan partai pesaing SBY di pilpres kemaren, khususnya di kubu JK-WIN. Di tubuh partai pohon beringin ini, sayup-sayup terdengar sebuah gerakan untuk menggantikan JK dan memutar haluan partai ini untuk mendukung SBY-Budiono. Boleh dikatakan, tinggal 3 partai yang kelihatan tidak “keder” berhadapan dengan gelombang besar neoliberal, yaitu PDIP, Hanura, dan Gerindra. Di pertemuan Rakernas PDIP, yang berlangsung pada 15 Juni lalu, hampir seluruh Dewan Pimpinan Daerah menyatakan mendukung wacana agar PDI perjuangan beroposisi. sementara itu, Gerindra, mitra koalisi PDIP, sudah menyatakan dukungan dan kesetiaan untuk tetap berdiri segaris dengan PDIP. Sementara di kubu Hanura, angin untuk menjadikan partai ini sebagai oposisi terhadap pemerintahan neoliberal cukup kuat. Bahkan, jika akhirnya Golkar memilih berkolaborasi dengan kubu neoliberal, tampaknya Hanura akan meninggalkan mitra koalisinya di pilpres ini. Jika, akhirnya, PDIP, Gerindra, dan Hanura benar-benar memutuskan menjadi oposisi, maka kekuatan mereka di parlemen tetap kecil. Jika digabungkan, maka kekuatan oposisi ini hanya diperkuat oleh 138 kursi di parlemen, sementara kubu neoliberal akan memperoleh lebih dari 300 kursi (minus Golkar). Artinya, jika kekuatan oposisi hanya bermain dengan perimbangan kekuatan di parlemen, mereka jelas akan mengalami kekalahan sebelum bertarung.
Koalisi Lebar dan Garis Minoritas Besar
Dengan kehadiran yang relatif minimal di parlemen dan eksekutif, kubu anti-neoliberal tidak bisa berharap terlalu banyak dalam memberlakukan hukum ataupun membendung perundangan yang tidak pro-rakyat. Untuk itu, dalam kerangka membangun perimbangan kekuatan, kekuatan anti neoliberal harus mencari tambahan kekuatan atau penopang kekuatan yang lebih besar. Sehingga, bagi saya, gerakan anti neoliberal perlu membangun sebuah jembatan atau “koalisi lebar” dengan sektor-sektor anti neoliberalisme yang berada diluar ranah parlemen, yaitu serikat buruh, organisasi tani, mahasiswa, perempuan, gerakan rakyat miskin, kelompok lingkungan, dll. Kolaborasi antara partai-partai penentang neoliberal di parlemen dan sektor-sektor luas anti neoliberal di luar parlemen, dapat digambarkan sebagai strategi minoritar besar. Strategi ini, yang pernah dipopulerkan Democratic Labour Party (DLP) di Korsel, menegaskan bahwa kekuatan politik anti neoliberal di parlemen harus aktif mempolitisasi masyarakat umum, tidak hanya dengan politik parlementer (“minoritas”) tetapi juga dengan berpartisipasi pada mobilisasi politik gerakan sosial dan sektor-sektor anti neolib diluar parlemen (“besar”). Singkat kata, bagi strategi minoritas besar, perwakilan mereka di parlemen hanya ditempatkan sebagai corong atau “pengeras suara” untuk menyuarakan tuntutan rakyat, sementara mobilisasi politik massa sebagai sebagai inti politiknya. Hal ini tercapai melalui kolaborasi yang solid antara partai politik di parlemen dan gerakan sosial di luar parlemen, dan tujuan terpenting dari model tersebut adalah untuk memperbesar dukungan rakyat terhadap penentangan agenda neoliberalisme dan logika-logika kapitalisme yang berdasarkan profit. Dalam prakteknya, model-model kolaborasi ini bisa beraneka ragam, tergantung situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Dalam pengajuan APBN, misalnya, partai politik bisa mengajukan draft tandingan (baca, APBN pro-rakyat). Sebelum pengajuannya, partai politik bisa melakukan konsultasi dan menggali dukungan dari rakyat, sekaligus jaminan bahwa rakyat akan berdiri di belakang proposal ini. Contoh lainnya, partai politik sudah harus mulai merancang keterlibatan dan partisipasi politik rakyat dalam melawan agenda-agenda neoliberal. Ada contoh yang menarik Frente Amplio di uruguay, pada tahun 1992, mereka berhasil memenangkan referendum dan mendapatkan dukungan mayoritas rakyat, untuk melawan rencana privatisasi perusahaan telekomunikasi negara. Frente Amplio, ketika itu, mengorganisir referendum di berbagai propinsi untuk menolak agenda neoliberal. Sekarang ini, di berbagai belahan dunia, apparatus neoliberal berupaya keras memotong dan memangkas kewenangan lembaga parlementer. Akibatnya, begitu banyak contoh kebijakan strategi di bidang perekonomian dan politik, justru diputuskan oleh lembaga-lembaga yang tidak memegang mandat seperti bank sentral, mahkamah konstitusi, penasehat presiden, dan sebagainya. Dengan partisipasi dan mobilisasi rakyat yang sadar di belakangnya, partai-partai anti neoliberal akan mendapatkan legitimasi besar untuk menghadang dan membatalkan agenda-agenda neoliberal tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar