Kamis, 04 Februari 2010

Buruh Melawan Deindustrialisasi


Setelah tenggelam oleh berita-berita situasi "perekonomian yang membaik", isu deindustrialisasi (wujudnya penutupan pabrik atau pengurangan kapasitas produksi) kembali mencuat. Kali ini datang dari ekonom Dr. Faisal Basri dalam finalisasi visi 2030 dan peta jalan (roadmap) 2015 Pembangunan Industri Pengolahan di Jakarta yang diselenggarakan oleh KADIN, Kompas (7/10).
Gejala tersebut ditunjukkan oleh menurunnya angka pertumbuhan industri manufaktur dari tahun ke tahun sejak krisis tahun 1997-1998. Faisal hanya menyebut salah satu pemicu deindustrialisasi, yaitu minimnya dukungan perbankan. Bank lebih sibuk mengurus konsumsi daripada produksi.
Hampir tepat satu tahun sebelumnya, ekonom Dr. Henri Saparini memperingatkan gejala ini, dan menunjukkan kebijakan liberalisasi yang diterapkan pemerintah sebagai sumber masalah (dalam artikel Deindustrialisasi, Buah Neoliberalisme, media online Okezone, 8 Oktober 2008). Setidaknya Henri menyebut masalah terkait liberalisasi ekspor bahan baku (contoh kasus rotan), liberalisasi impor produk barang konsumsi (tekstil, garmen, dll), dan liberalisasi pada sektor energi (ekspor batubara, minyak, dan gas) sebagai penyebab deindustrialisasi. Sebelumnya juga ada ekonom-ekonom lain yang mengingatkan.

Terus membayangi
Artinya, ini bukan hal baru, dan terus membayangi kehidupan buruh serta rakyat Indonesia selama bertahun-tahun. Sebatas pengamatan kami, buruh manufaktur adalah kelompok yang kehidupannya terancam kena dampak langsung deindustrialisasi (sementara dampak tak langsungnya jauh lebih luas). Banyak perusahaan harus tutup, dan banyak lainnya harus bersiasat memotong biaya biaya produksi. Seringkali berupa pemotongan biaya tenaga kerja (labor cost). Wujudnya seperti PHK (efisiensi), menekan uang transportasi/uang makan, menekan kenaikan upah, merubah status kerja menjadi pekerja kontrak/outsourcing, fasilitas perusahaan yang minim bagi buruh, dll., bahkan sampai muncul kasus perusahaan yang mengkorupsi iuran jaminan sosial buruh yang seharusnya disetorkan ke Jamsostek.
Kembali merujuk pengalaman praktis, banyak kasus melanggar peraturan dan perundang-undangan. Atau istilah hukum yang cukup akrab bagi buruh adalah "melanggar hak-hak normatif". Setiap terjadi pelanggaran, pihak perusahaan bisa bertindak sekehendak hati, karena ia berada pada posisi berkuasa atas modal. Dalam banyak kejadian, modal ini juga digunakan untuk menjinakkan aparatus negara, menutupi pemberitaan (menyogok media), membayar preman, atau bahkan untuk menjinakkan serikat buruh/pekerja.

Batas kompromi
Namun dalam hal hak normatif serikat-serikat buruh militan umumnya enggan berkompromi. Di sini ada pagar pembatas yang jelas, dan sebagai wujud ‘pengertian' atas kondisi usaha di dalam situasi krisis, serikat buruh lebih berkenan berunding di atas basis normatif. Kurang dari standar normatif hanya terjadi pada situasi yang tidak biasa, yaitu perusahaan dalam keadaan terancam (tapi belum) bangkrut yang dibuktikan dengan hasil audit akuntan publik independen (bisa ditunjuk oleh Pengadilan Hubungan Industrial [PHI]).
Dalam situasi yang sulit, lapangan pekerjaan terbatas, kebutuhan hidup yang begitu mendesak, maka pekerjaan tetap dengan upah rendah seringkali dianggap tidak persoalan. Paling tidak untuk sementara waktu. Keadaan dilematis ini yang kadang terpaksa menggiring buruh untuk berkompromi yang lebih rendah, sampai hampir mencium tanah.
Dalam proses perundingan/negosiasi (bipartit ataupun tripartit) bisa terjadi pemogokan atau bentuk perlawanan kolektif lainnya. Sebenarnya, terpenuhinya hak normatif saja pun belum memenuhi kelayakan hidup buruh sebagai manusia (manusiawi). Namun di sini ada landasan hukum yang memberi harapan ‘kemenangan' kecil bagi buruh selama kemenangan politik belum dicapai.
Tak jarang juga lahir cerita-cerita ‘kekalahan' dari perlawanan di tingkat pabrik yang berujung PHK. Seringkali buruh yang ter-PHK harus mengantri pekerjaan di pabrik lain, atau mengambil pesangon yang tak seberapa untuk memulai hidup di sektor informal (meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal bisa dilihat sebagai salah satu indikasi terjadinya deindustrialisasi).
Sempat tersimak, upaya sejumlah buruh di suatu kawasan industri lama (sekitar Jakarta Barat/Utara?) untuk "mengoperasionalkan" sendiri (tanpa majikan) pabrik yang ditinggal pergi majikannya. Namun saya belum sempat menanyakan lebih jauh kepada serikat buruh yang memimpin aksi ini. Tanpa mengecilkan arti penting dari pengalaman praktis tersebut, pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana buruh (mulai dari tingkat manajemen sampai ke bagian produksi dan gudang) mengakses modal, bahan baku, energi, pasar, dll., masihmenggelayut di pikiran.

Catatan penting dari tiap perlawanan kolektif adalah pengalaman berjuang. Mungkin pengalaman ini tidak merata dialami buruh, namun setidaknya ada beberapa semangat positif tertimba seperti keberanian menghadapi ketidakadilan/penindasan, serta semangat solidaritas atau kebersamaan dalam mencari dan memperjuangkan solusi.

Upaya politis
Batas kompromi lainnya dilandasi pemahaman sederhana, bahwa pengalaman konflik perburuhan di masing-masing perusahaan sebenarnya hanya gambaran kecil dari kecenderungan deindustrialisasi secara nasional. Kemunduran ini, seperti dikutipkan dari para ekonom di awal tulisan ini, terkait dengan kebijakan pemerintah (politik). Tajuk Rencana Kompas (8/10) telah kembali mengkonfirmasi, meski dibungkus sejumlah harapan penyelesaiannya oleh pemerintahan sekarang (SBY-Boediono).
Sejak kelahirannya, bangsa Indonesia telah menyatakan bahwa hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah fondasi bagi kemajuan yang dicita-citakan. Ketika fondasi tersebut terbukti semakin ditelantarkan maka perjuangan untuk memutar haluan menjadi semakin obyektif dan mendesak.

Atas pijakan ini politik kaum buruh menemukan lapangan bersama unsur-unsur sebangsa yang memiliki komitmen yang sama untuk memajukan kepentingan bersama. Dalam lapangan politik perjuangan buruh menjadi lebih luas, termasuk mengangkat program-program ‘non perburuhan', baik terkait kesejahteraan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dll., ataupun terkait hal ekonomi lain seperti masalah eksploitasi kapitalisme terhadap kekayaan nasional dan masalah korupsi. Sementara program-program politik perburuhan seperti hentikan politik upah murah untuk menarik investor, pencabutan produk perundang-undangan yang anti-buruh, masalah birokrasi, dll., dapat menjadi bagian dari program perjuangan melawan neoliberalisme.

Tanpa perlu menaruh harapan yang berlebihan, mari kita buktikan, apakah persoalan-persoalan yang sudah banyak dikemukaan oleh berbagai pihak terkait deindustrialisasi ini akan segera diatasi oleh ‘pemerintahan baru' nanti. Misalnya terkait liberalisasi impor barang jadi, ekspor bahan mentah, dan kedaulatan energi. Ataukah, liberalisasi (penjarahan) ekonomi yang celaka ini akan terus dilanjutkan bergandengan dengan KKN (seperti Century Gate) dan keseolah-olahan.

*) Penulis adalah Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).


0 komentar:

Posting Komentar